NASIONAL, BALINEWS.ID – Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) menyampaikan kekecewaan mendalam terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2025 tentang Kepariwisataan yang resmi disahkan pada 2 Oktober lalu. Melalui surat resmi bertanggal 12 Oktober 2025, GIPI menilai revisi UU tersebut justru menghapus elemen penting yang selama ini menjadi tulang punggung koordinasi pelaku industri pariwisata nasional.
Bab GIPI Dihapus, Kolaborasi Industri Terancam Hilang
Poin paling disorot adalah penghapusan Bab XI yang sebelumnya mengatur tentang Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI). Dalam undang-undang lama, GIPI merupakan wadah resmi kolaborasi antara pemerintah dan pelaku industri, rumah besar bagi asosiasi pariwisata di seluruh Indonesia sejak dibentuk pada 2012.
Namun dalam UU yang baru, keberadaan GIPI dihapus total tanpa pembahasan yang jelas.
“Rumah besar asosiasi di sektor pariwisata yang selama ini dimanfaatkan untuk kolaborasi antar pelaku usaha pariwisata secara nasional guna membangun serta mengembangkan pariwisata tiba-tiba hilang dalam Undang-Undang tentang Kepariwisataan yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 2025,” tulis GIPI dalam pernyataan resminya.
Menurut GIPI, penghapusan ini menjadi “sejarah kelam” bagi industri pariwisata nasional, mengingat organisasi tersebut selama ini telah banyak berkontribusi dalam pembangunan dan promosi pariwisata Indonesia melalui kerja sama dengan pemerintah pusat maupun daerah.

Kekecewaan juga mengemuka lantaran rencana pembentukan Indonesia Tourism Board, lembaga promosi pariwisata terpadu yang diusulkan GIPI bersama Komisi VII DPR RI, tidak tercantum dalam naskah akhir UU.
Padahal, tourism board dinilai penting untuk memperkuat strategi promosi nasional sebagaimana yang telah diterapkan di berbagai negara ASEAN.
Alih-alih membentuk lembaga baru, pemerintah justru mempertahankan Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) yang dinilai tidak efektif. Sejak 2015, BPPI bahkan tidak pernah aktif kembali karena kendala persetujuan dan anggaran.
Masalah lain yang disoroti GIPI adalah soal mekanisme pendanaan pariwisata. Sebelumnya, GIPI mengusulkan pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) Pariwisata untuk menghimpun dan mengelola pungutan dari wisatawan mancanegara secara langsung, agar dana tersebut bisa digunakan kembali untuk promosi dan pengembangan destinasi.
Namun, dalam UU Kepariwisataan yang baru, pemerintah mengambil alih konsep tersebut tanpa melibatkan mekanisme industri.
“Faktanya, setiap pungutan dari sektor pariwisata selalu sulit disisihkan untuk pengembangan industri. Padahal kontribusi sektor ini sangat besar, terutama bagi UMKM di daerah,” tulis GIPI.
Pemerintah Dinilai Tak Prioritaskan Sektor Pariwisata
Selain itu, GIPI juga menyoroti minimnya perubahan pada Bab IV tentang Usaha Pariwisata. Pelaku industri sebelumnya telah mengusulkan penambahan kategori usaha manajemen pariwisata agar tidak disamakan dengan konsultan, namun usulan itu tidak diakomodasi.
Menurut GIPI, hasil akhir revisi UU ini menunjukkan bahwa pemerintah belum menempatkan sektor pariwisata sebagai prioritas nasional, padahal di banyak negara, pariwisata menjadi sumber devisa utama yang sangat didukung kebijakan negara.
“Pemerintah tidak bisa hanya menikmati pendapatan dari devisa dan pajak pariwisata tanpa membantu industri mengembangkan pasar,” tulis GIPI dalam suratnya.
“Kesimpulan dari penetapan Undang-Undang tentang Kepariwisataan bahwa Pariwisata belum sepenuhnya menjadikan program prioritas bagi Pemerintah dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia, disaat banyak negara yang sudah mulai fokus dalam pengembangan pariwisata guna meningkatkan devisa,” tutup surat itu. (*)