BANGLI, BALINEWS.ID – Anggota DPD RI asal Bali, I Komang Merta Jiwa, menyoroti dugaan alih fungsi kawasan hutan di Batur, Kintamani, Bangli, yang dinilainya berpotensi dimanfaatkan oleh kelompok elit dan kapitalis. Ia menilai persoalan ini bukan sekadar tentang pembongkaran bangunan yang ditolak warga, tetapi menyangkut kebijakan nasional yang membuka celah penyalahgunaan izin.
“Pengusaha itu sebenarnya korban dari kebijakan pusat. Yang perlu dikritisi adalah OSS dan BKSDA, karena keduanya punya kewenangan besar, tapi di situlah justru letak bahayanya,” tegas Merta Jiwa, Kamis (16/10/2025).
Merta Jiwa menilai, BKSDA seharusnya berfokus pada konservasi hutan, bukan membuka peluang bisnis wisata alam di kawasan konservasi. Menurutnya, fungsi utama pelestarian kini justru bergeser ke arah pengelolaan taman wisata alam yang mengizinkan aktivitas usaha.
“BKSDA itu lembaga konservasi, bukan lembaga pariwisata. Tapi sekarang malah sibuk urus taman wisata alam. Ini sudah keluar dari fungsinya,” ujarnya.
Ia juga mempertanyakan perubahan status kawasan hutan di sekitar Danau Batur yang dinilainya janggal. “Saya sedang menelusuri kapan status hutan lindung itu berubah jadi hutan konservasi. Ini tidak bisa dibiarkan, ada permainan elit di baliknya,” tambahnya.
Lebih lanjut, Merta Jiwa menyoroti sistem Online Single Submission (OSS) yang dinilai menjadi celah bagi oligarki untuk menguasai lahan di daerah tanpa melibatkan masyarakat lokal. Ia khawatir, izin usaha yang bisa diurus langsung di Jakarta membuka peluang pengusaha membangun di wilayah adat tanpa persetujuan desa.
“Ini berbahaya. Mereka cukup urus izin di pusat, lalu bangun di Bali tanpa sepengetahuan desa adat. Bali itu berbeda dengan daerah lain, hampir semua hutannya suci dan punya nilai adat,” tegasnya.
Dorong Reformasi OSS dan Kewenangan Desa Adat
Untuk mencegah penyalahgunaan izin, Merta Jiwa mendorong agar OSS direformasi dengan menambahkan syarat wajib berupa persetujuan desa adat dan kepala desa sebelum izin diterbitkan.
“OSS memang tidak bisa dibatalkan, tapi bisa dilengkapi. Harus ada izin resmi dari desa adat dan kepala desa agar tidak jadi celah bagi kapitalis,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya musyawarah desa sebelum mengambil keputusan. “Kepala desa tidak boleh sepihak. Setiap izin harus dibahas dalam paruman krama, agar semua warga tahu dan setuju,” katanya.
Kritik Alih Fungsi Hutan dan Ancaman Ketahanan Pangan
Merta Jiwa turut menyoroti kebijakan nasional yang membuka peluang alih fungsi hutan dengan alasan ketahanan pangan. Ia menilai, kebijakan tersebut tidak cocok diterapkan di Bali yang memiliki hutan suci dan menjadi sumber air.
“Atas nama ketahanan pangan, banyak hutan dibuka. Padahal di Bali, hutan itu kawasan suci dan sumber kehidupan. Kalau terus ditebang, air akan berkurang dan bencana datang,” ujarnya.
Ia mencontohkan kondisi di Bangli dan Buleleng, di mana banyak hutan gundul karena diganti tanaman produktif seperti cengkeh. “Akibatnya tanah tidak lagi menyerap air. Itu penyebab banjir di beberapa wilayah,” tambahnya.
Seruan Moral untuk Pejabat dan Masyarakat Bali
Menutup pernyataannya, Merta Jiwa mengingatkan para pejabat dan masyarakat agar tidak tergoda dengan keuntungan ekonomi jangka pendek. Ia menegaskan, kerusakan hutan sama artinya dengan merusak keseimbangan alam dan spiritualitas Bali.
“Jangan jadikan jabatan sebagai alat mencari kekuasaan atau materi. Kalau hutan rusak, kita semua akan kena kutukannya,” ucapnya.
Sebagai pewaris spiritual Batari Dewi Danu Batur, Merta Jiwa menegaskan komitmennya untuk terus memperjuangkan pelestarian hutan dan kesucian alam Bali. “Tidak boleh ada hutan yang dirusak untuk kepentingan bisnis. Bali harus tetap suci, karena hutan adalah sumber kehidupan dan spiritualitas kita,” tutupnya tegas.