Tulisan : Catatan Harian Sugi Lanus, Sambungan dari “Desa Adat Bali Dimanja”, 5 November 2025
BALINEWS.ID – Ketergantungan Desa Adat Bali terhadap bantuan sosial (bansos) dari pemerintah membawa dampak besar terhadap independensi, nilai budaya lokal, dan kehidupan religius masyarakat Bali. Pergeseran dari sistem swadaya menuju ketergantungan ini secara perlahan mengikis prinsip fundamental seperti ngayah (kerja sukarela tulus ikhlas) dan semangat kebersamaan (menyama braya).
1. Kehilangan Independensi dan Politisasi
-Hilangnya Otonomi Asli
Secara historis, desa adat (pakraman) mengelola urusan internalnya secara mandiri, termasuk pembiayaan dan pelaksanaan ritual. Namun, ketika prajuru (pengurus) desa adat mulai menerima gaji dan fasilitas dari pemerintah, muncul keterikatan finansial yang melemahkan otonomi tersebut. Kelian yang semestinya hanya bertanggung jawab kepada krama (warga adat), kini merasa wajib melapor kepada pejabat penyalur gaji yang berasal dari mekanisme politik—yakni partai. Akibatnya, secara tidak langsung, Kelian Desa Adat Pakraman masuk dalam garis komando politik tertentu. Arah proposal dan jenis bantuan yang diajukan pun sering kali mencerminkan “garis komando” itu.
-Jebakan Politik Praktis
Ketergantungan pada dana bantuan yang disalurkan melalui politisi atau partai membuka celah politisasi. Desa adat berisiko menjadi alat tawar-menawar politik, di mana dukungan suara diharapkan sebagai balas jasa atas bantuan. Hal ini menodai netralitas desa adat sebagai lembaga budaya dan keagamaan.
2. Implikasi Kultural
-Erosi Nilai Ngayah
Ngayah atau gotong royong adalah tradisi sentral masyarakat Bali yang menekankan kerja sama dan tolong-menolong tanpa pamrih dalam kegiatan komunal maupun keagamaan. Bantuan pemerintah, terutama dalam bentuk uang, perlahan menggantikan semangat gotong royong ini dengan mentalitas “proyek” atau pekerjaan yang dibayar.
-Pergeseran Motivasi
Partisipasi warga dalam upacara atau pembangunan pura kini cenderung dilandasi oleh ketersediaan dana eksternal, bukan lagi oleh rasa tanggung jawab sosial dan keikhlasan (punia). Akibatnya, jalinan sosial yang selama ini terbangun melalui ngayah perlahan memudar.
-Sentralisasi Pengambilan Keputusan
Keputusan terkait penggunaan dana bantuan kini lebih banyak dipengaruhi oleh birokrasi pemerintah atau kepentingan politik, bukan melalui paruman (musyawarah adat). Proses ini mengikis sistem demokrasi lokal yang telah bertahan berabad-abad di Bali.
3. Implikasi Religius
-Anomali Yadnya
Yadnya—persembahan suci yang semestinya dilandasi ketulusan dan keikhlasan (lascarya)—menjadi paradoks ketika dibiayai oleh dana bantuan pemerintah. Ketika sumber dana berasal dari motivasi non-religius, makna sakral dan spiritual dari yadnya perlahan memudar.
-Ancaman terhadap Sutindih ring Bali
Konsep Sutindih ring Bali, yaitu menjaga identitas kebalian yang bersumber dari adat dan agama Hindu, kini terancam. Ketergantungan pada bantuan material menggeser fokus masyarakat dari pelestarian nilai-nilai luhur menuju pemenuhan kebutuhan finansial jangka pendek. Jika dibiarkan, hal ini dapat menggerus fondasi spiritual dan eksistensi agama Hindu Bali itu sendiri.
-Infrastruktur dan Supra-struktur
Ketergantungan tak hanya terjadi pada pembangunan fisik pura (infrastruktur), tetapi juga pada penyediaan sarana upacara (supra-struktur) seperti banten, caru, dan sulinggih. Pengajuan proposal untuk kegiatan yadnya menandai perubahan besar dalam mentalitas beragama. Yadnya kini kerap bernuansa politis, menciptakan politisasi upacara dan birokratisasi aspek spiritual.
Secara keseluruhan, situasi ini berpotensi meremukkan sendi-sendi kemandirian, keikhlasan, dan semangat urunan masyarakat adat Bali. Desa adat yang dulunya menjadi “republik merdeka” berdaulat secara budaya dan spiritual kini perlahan menjelma menjadi lembaga yang bergantung pada kekuasaan eksternal—terutama politik.
Desa Adat Pakraman yang dahulu tegak atas kemandirian krama, kini berubah menjadi “Desa Adat Proposal” yang segalanya bergantung pada jalur politisi dan partai tertentu. (*)

