Tulisan Catatan Harian Sugi Lanus, 3 September 2025.
BALINEWS.ID – Pemandangan pertama yang terlihat sebelum mendarat di Bandara Ngurah Rai, Bali, adalah wajah bopeng pesisir Pulau Serangan. Ratusan hektar terumbu karang di kawasan ini luluh lantak oleh reklamasi, menyisakan bentuk aneh yang kini diberi nama Pulau Kura-Kura.
Bagi mereka yang akrab dengan dunia pewayangan Bali dan Jawa, penampakan bopeng ini tak ubahnya menyerupai wajah menyeramkan Bhuta Kala Wilkataksini, yang lebih dikenal sebagai Kala Kataksini.
Kala Kataksini digambarkan sebagai pasukan sergap Rahwana, penguasa pesisir dan lautan yang rakus memakan tanah. Ia digambarkan mampu menyelam di laut, tinggal di pesisir, dan meloncat ke daratan untuk mencaplok manusia.
Dalam kisah Hanoman Obong, Kala Kataksini bahkan mampu menyedot Hanoman ke dalam perutnya. Meski Hanoman memiliki kesaktian luar biasa, ia sempat terjebak di dalam perut berlendir Kala Kataksini sebelum bertiwikrama dan membebaskan diri.
Dalam literatur lontar Bali dan Kawi, disebutkan bahwa ‘bhuta kala’ berkuasa di tanah-tanah angker (karang tenget), di pesisir, maupun di laut. Oleh sebab itu, leluhur Jawa Kuno dan Bali mewariskan ajaran sakral tentang etika membangun.
Salah satu pantangan terbesar adalah mengurug sawah, menutup sempadan sungai, atau mereklamasi pantai, karena itu berarti mangundang kala—mengundang Bhuta Kala. Reklamasi bahkan dianggap sebagai tindakan memanggil Maha Bhuta Kala, malapetaka besar yang mendatangkan kutukan, kedukaan, dan persoalan tiada akhir.
Bhuta Kala diyakini sebagai roh alam bawah yang muncul karena manusia berperilaku tercela, merusak alam, atau kejam terhadap sesama. Tugasnya adalah ‘nadah’—meminta tumbal manusia. Wujudnya bisa berupa penyakit misterius yang menggerogoti tubuh perlahan, atau dalam bentuk lebih dahsyat: kekacauan sosial, perang, dan pertumpahan darah akibat ‘kesusupan kala’.
Tanah hasil urugan yang dipaksakan menjadi bisnis atau fasilitas usaha dipercaya akan menjadi stana Bhuta Kala—istana tempat bersemayamnya roh jahat itu.
Maka tak heran, jika fasilitas di atas tanah reklamasi kerap diwarnai masalah: usaha tidak lancar, pekerja sakit-sakitan, keluarga pemilik merana, meski harta melimpah, hidup selalu dirundung duka. Semua itu diyakini sebagai perwujudan Bhuta Kala.
Saat pesawat berputar di udara sebelum mendarat di Ngurah Rai, wajah Pulau Kura-Kura yang menyerupai Kala Kataksini seakan menyambut kedatangan setiap orang dengan deru turbulensi mesin yang menggelegar. (*)