NASIONAL, Balinews.id – Pemerintah terus memperluas cakupan pajak untuk meningkatkan pendapatan negara. Salah satu langkah barunya adalah menyasar aktivitas ekonomi di media sosial dan penggunaan data digital sebagai objek pajak, yang direncanakan mulai diterapkan pada tahun 2026.
Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, menjelaskan bahwa potensi pajak ini akan digali melalui analisis data dan pemantauan media sosial. Ia menyebutkan bahwa upaya ini merupakan bagian dari transformasi sistem perpajakan digital, yang tak hanya terbatas pada transaksi di platform e-commerce.
Sebelumnya, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang mewajibkan marketplace menjadi pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari penjualan barang secara online. Namun kini, fokus meluas hingga ke transaksi berbasis media sosial yang selama ini belum tersentuh secara langsung oleh sistem perpajakan.
Anggito menambahkan bahwa selain pajak digital, pemerintah juga tengah menyusun kebijakan fiskal lain seperti penerapan cukai pada makanan olahan mengandung natrium, penguatan peraturan pajak, serta perbaikan sistem ekspor-impor dan logistik.
Lalu bagaimana caranya pengenaan pajak di media sosial? Dikutip dari CNBC, Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama, menjelaskan bahwa Ditjen Pajak akan memantau kepatuhan pajak lewat media sosial dengan menggunakan sistem yang disebut “crawling”.
Dimana nantinya konten-konten di sosial media akan diawasi terutama yang menunjukan kekayaan. Data yang ditemukan akan kemudian dicocokkan dengan data yang ada di sistem pajak.
Ia juga menambahkan bahwa aktivitas promosi atau endorsement di media sosial sudah termasuk dalam hal yang diawasi oleh DJP.
Seluruh kebijakan ini dirancang untuk mendukung peningkatan penerimaan negara pada 2026. Dari total anggaran Kementerian Keuangan sebesar Rp52,01 triliun tahun depan, sebesar Rp1,99 triliun dialokasikan untuk program optimalisasi pajak, dengan tambahan anggaran yang diusulkan mencapai Rp366,42 miliar. (*)