Om Bhur Bhuvaḥ Suvaha, Tat-savitur Vareñyaṃ Bhargo Devasya Dheemahi Dhiyo Yonaḥ Prachodayāt
BALINEWS.ID – Sebelumnya tulisan ini saya buat sebagai perenungan spiritual yang bisa dinikmati lintas kalangan sekaligus sebagai apresiasi terhadap pihak Tatkala, Komunitas Mahima, dan Festival Literasi Singaraja yang sudah memilih saya menjadi salah satu dari sepuluh peserta terpilih untuk mengikuti penulisan festival 2025 di Singaraja Literacy Festival.
Tentunya keikutsertaan saya sebagai penulis pemula yang masih harus terus belajar ini semakin memantik motivasi pribadi untuk terus-menerus berkarya dan berjejaring dengan lingkungan yang mendukung kerja-kerja di bidang literasi.
Sebagai umat Hindu, siapa yang tidak asing dengan Gayatri Mantram yang memiliki arti kurang lebih seperti ini:
“Om, kami memuja cahaya suci Sang Matahari yang maha terpuji Brahman Yang Maha Esa yang bersemayam dalam tiga alam, bumi sebagai dunia yang ada, atmosfer sebagai dunia yang nyata, dan surga sebagai dunia kebahagiaan; Ia (Tuhan) yang menjadi sumber kesadaran, kreativitas, dan kebijaksanaan; semoga Dia (Tuhan) menerangi akal budi kita dan menuntun pikiran kita ke jalan kebenaran.”
Mantra yang pertama kali tercatat dalam Rig Veda dengan bahasa Sanskerta dari 2500 hingga 3500 tahun yang lalu itu merupakan mantra yang amat penting dalam ritus agama Hindu di seluruh dunia karena dianggap sebagai Ibu segala mantra bahkan dianggap esensi dari ajaran Weda.
Oleh karena derajat keutamaannya, menurut saya, Mantram Gayatri sama seperti Al-Fatihah di Islam, Om Mani Padme Hum di Buddha, atau Doa Bapak Kami di Katolik yang selalu diucapkan setiap hari oleh penganut agama Hindu yang melaksanakan ritus sembahyang tiga kali sehari untuk memohon ketenangan pikiran, kebangkitan cahaya batin, dan kekuatan konsentrasi yang menjadi tiga manfaat utama dari Mantram Gayatri.
Dalam konteks Ashtanga Yoga yang dikembangkan oleh Yogacarya Sri K. Pattabhi Jois berdasarkan teks klasik Yoga Sutras karya Patanjali, bahkan Gayatri Mantram berfungsi sebagai landasan spiritual yang mengaktualisasikan prinsip inti Yoga Sutras Patanjali menuju kepada tahapan dharana (konsentrasi) dan dhyana (meditasi) yang kegunaannya untuk meningkatkan yama (etika diri), niyama (disiplin pribadi), asana (postur tubuh), pranayama (pengendalian napas), pratyahara (penarikan indra), dharana (konsentrasi), dhyana (meditasi), dan samadhi (kesadaran penuh) agar tubuh dapat bersih secara fisik, mental, dan spiritual.
Koneksi Gayatri Mantram dan Dewi Gayatri
Gayatri Mantram memiliki ikatan kuat secara filosofis, spiritual, dan simbolis terhadap Dewi Gayatri yang dipuja sebagai “Ibu dari Weda” (Veda Mata) karena diyakini telah mengandung dan melahirkan seluruh pengetahuan suci dalam kitab Weda.
Secara ikonografi, Dewi Gayatri digambarkan dengan lima kepala yang memiliki rona berbeda yaitu mutiara, koral, emas, nilam safir, dan putih yang pada kesepuluh tangannya, yang digambarkan pula dalam posisi antara Abhaya Mudra (gestur pemberi perlindungan) dan Varada Mudra (gestur pemberi anugerah).
Dewi Gayatri juga memegang senjata-senjata milik Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa yang masing-masing memiliki pemaknaan sebagai metafora perjalanan spiritual manusia: dari ankusha (tusuk gajah) yang bermakna menjinakkan pikiran liar; pasha (cambuk) yang bermakna disiplin batin; kapala (mangkuk tengkorak) yang bermakna pengingat kefanaan duniawi; gada (pentungan) yang bermakna penghancur kegelapan avidya (kebodohan); shankha (sangkakala) yang bermakna penyeru kebenaran kosmis; chakra (cakram) yang bermakna pemutus belenggu karma; dan sepasang padma (teratai) yang mekar sebagai singgasana yang bermakna kebijaksanaan lahiriah (apara vidya) dan spiritual (para vidya).
Sementara lima kepalanya terkait dengan harmoni antara dimensi internal manusia (mikrokosmos) dan struktur alam semesta (makrokosmos) yang sekaligus menyingkap kesatuan sakral antara diri individu (atman) dan alam semesta (brahman).
Makna dari lima kepalanya mencakup panca prana (energi penting kehidupan) dalam tingkatan mikrokosmos yang terdiri dari Prana Vayu (penyerapan napas), Apana Vayu (pengeluaran energi), Samana Vayu (pencernaan), Udana Vayu (ekspresi), dan Vyana Vayu (sirkulasi) yang identik dengan fungsi fisiologis dan kesadaran manusia. Serta lima unsur dasar alam semesta (Panca Maha Bhuta) yang terdiri dari Akasha (eter/ruang), Vayu (udara), Agni (api), Jala (air), dan Prithvi (bumi) yang merupakan fondasi material seluruh realitas fisik.
Di antara semua dewi, Gayatrilah satu-satunya dewi yang memiliki Tri-Netra atau tiga mata seperti Dewa Siwa sekaligus perwujudan dari tiga sifat dewi utama yaitu Lakshmi yang identik dengan kekayaan, Saraswati yang identik dengan pengetahuan, dan Kali yang identik dengan kekuatan perubahan (transformasi).
Api Literasi dalam Mantram Gayatri
Meskipun tidak secara tersurat menyebut harus membaca atau Iqro sebagaimana Surat Al-‘Alaq dalam ajaran Islam, namun Mantram Gayatri sebagaimana penggambaran Dewi Gayatri sebenarnya mengajarkan dimensi triadik yang mengintegrasikan antara pikiran, ucapan, dan tindakan ke dalam praktik spiritual yang disebut sebagai Trikarana Suddhi, yaitu kesucian dan keselarasan dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan sebagai fondasi untuk kemajuan fisik, batin, dan spiritual yang memaparkan kesepadanan dengan proses literasi.
Dalam praksisnya, agar kita memiliki keselarasan dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan itu maka kita perlu menghindari pikiran yang buruk, penglihatan yang buruk, pendengaran yang buruk, pembicaraan yang buruk, tindakan yang buruk, dan melaksanakan perintah Tuhan yang kesemuanya membutuhkan pengetahuan yang mau tidak mau atau suka tidak suka harus kita raih melalui proses literasi.
Apalagi setiap tahun di Bali, khususnya bagi penganut Hindu, selalu merayakan Hari Saraswati yang ritusnya berupa menyucikan semua alat-alat belajar termasuk buku untuk memohonkan agar ilmu pengetahuan tersebut bertuah.
Namun dalam ajaran Hindu, untuk meraih pengetahuan menuju kecerdasan intelektual, penguatan kemauan dan karakter, serta menyentuh dimensi emosional atau rasa kemanusiaan sebagaimana kata Tan Malaka, diperlukan proses yang holistik yang menggabungkan penyucian diri, disiplin, ketekunan belajar, dan ketulusan hati.
Karena pengetahuan sejati (Vidya) hanya bisa diraih melalui Shuddhi (pensucian pikiran dan hati dari nafsu, ego, serta prasangka), diikuti oleh Brahmacharya (pengendalian diri dan penghematan energi untuk fokus belajar), Svadhyaya (belajar mandiri dan refleksi mendalam), serta Abhyasa (latihan tekun dan pengulangan terus-menerus) yang kemudian diperkuat dengan Samyoga (menghubungkan berbagai cabang ilmu) dan Dhāraṇā (konsentrasi penuh), sambil selalu dilandasi Bhakti (pengabdian yang tulus terhadap ilmu) dan Dhyana (meditasi untuk kejernihan batin).
Oleh karena itu, dari refleksi yang penulis sudah jabarkan tadi, Mantram Gayatri sudah mengajarkan kita agar terus menyalakan api literasi yang tidak terlepas dari persoalan iman.
Terkait iman ini, seorang Pendeta Kristen bernama Dr. Tri Budhi Sastrio pernah menuliskan:
“Di jaman ini banyak yang mengatakan jamannya orang-orang edan,
Tetapi yang namanya iman, berkembang bak cendawan di musim hujan.
Memang ada banyak kejadian-kejadian mengerikan terlihat di jalan-jalan,
Atau bahkan di perkantoran-perkantoran, hanya saja yang lebih mengerikan
Biasanya terjadi jauh di dalam relung-relung kesadaran nurani dan pikiran,
Karena disinilah biasanya hampir semua mufakat dan niat jahat dimatangkan,
Membutakan nurani dan kesadaran, dan bahkan yang lebih mengkhawatirkan
Benteng terakhir peradaban yang namanya iman, perlahan-lahan disirnakan,
Hanya pada ini jaman yang namanya iman tetap dikatakan makin menawan.”
Dalam berliterasi, kita memang memerlukan iman agar tajamnya pengetahuan bisa selaras dengan nasihat:
“Yan sira landep aywa kanti natoni, yan sira pinter aywa sira minteri.”
Jika engkau tajam jangan sampai melukai, jika engkau pintar jangan sampai memperdayai.
Praksis literasi perlu kita hidupkan, mencakup budaya menulis, membaca, dan berdiskusi yang bermanfaat, apalagi di zaman yang dikategorikan oleh banyak kalangan sudah memasuki zaman edan, atau dalam teologi Hindu disebut zaman Kali Yuga (zaman kegelapan), di mana logika dan nurani berada di senjakala. Kebenaran bisa diganti dengan kesalahan, keadilan bisa diganti dengan penindasan, kebaikan bisa diganti dengan kejahatan, validitas sebuah argumen bisa diganti dengan agitasi dan propaganda, dan kebohongan yang digemakan berulang menjadi makanan sehari-hari. (*)
Penulis : Putu Ayu Suniadewi