GIANYAR, BALINEWS.ID – Di sebuah rumah sederhana di Banjar Bayad, Desa Kedisan, Tegalalang, Gianyar, tinggal seorang bocah bernama I Gede Rangga Jayanta Waisnawa Putra (9). Sejak usianya baru 6 bulan, Rangga harus menjalani hidup tanpa ayah dan ibu. Ayahnya menikah lagi, begitu pula ibunya, meninggalkan Rangga kecil dalam asuhan kakek dan neneknya.
Kini, Rangga dibesarkan oleh kakek I Nyoman Sudarma (80) dan istrinya, I Wayan Ginarsih (65). Meski usia sudah senja, pasangan lansia ini tetap bekerja keras mengamplas togog (patung) di Desa Pujung. Uang yang mereka peroleh digunakan untuk membiayai sekolah, makan, dan kebutuhan sehari-hari cucu tercinta.
Meski hidup serba terbatas, Rangga memiliki semangat belajar yang tinggi. Duduk di bangku kelas IV SDN 2 Kedisan, ia mampu meraih peringkat empat di kelasnya. Dengan seragam sekolah yang mulai lusuh dan perlengkapan sederhana, ia tetap melangkah setiap pagi dengan senyum.
Rangga memendam satu cita-cita mulia, menjadi tenaga pendidik. Bukan semata demi dirinya, melainkan agar bisa menjaga hati anak-anak lain, supaya tak ada yang terluka seperti dirinya.
“Saya tidak pernah lupa sama orang tua, walaupun mereka sudah pergi,” ucap Rangga.
Di matanya, tidak ada kebencian. Hanya rindu yang tak pernah padam pada sosok ibu dan ayahnya. Ia berharap suatu hari keluarganya bisa kembali utuh.
Sementara itu, kakek Nyoman Sudarma mencoba tegar. Di usia yang tak lagi muda, ia mengaku tidak meminta banyak dari hidup.
“Kami tidak butuh banyak, cukup agar cucu kami bisa sekolah, makan cukup, dan tumbuh dengan mimpi. Biar kami yang tua memanggul sisanya,” ujarnya.
Kisah Rangga adalah cermin perjuangan cinta tanpa syarat dari kakek dan nenek, sekaligus pengingat bahwa di balik keterbatasan, mimpi tetap bisa tumbuh dan menyala.