Oleh: (I Nyoman Alit Sudiana, Bendahara DPD Partai Golkar Kab. Klungkung dan Ketua Fraksi Golkar DPRD Kab. Klungkung)
Perubahan desain otonomi daerah di Bali sangat relevan untuk dibahas di tengah meningkatnya ketimpangan pendapatan asli daerah (PAD) antar kabupaten/kota, terutama yang bersumber dari Pajak Hotel dan Restoran (PHR) atau Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Ketimpangan ini bukan sekadar persoalan statistik, tetapi telah bertransformasi menjadi kesenjangan kesejahteraan yang kasat mata dan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat Bali secara luas.
Kabupaten Badung, Denpasar, dan Gianyar sebagai pusat pariwisata mampu menghasilkan PAD yang sangat besar. Dampaknya jelas terlihat, program-program pro-rakyat yang relatif “mewah” dapat digulirkan, seperti THR Rp2 juta per KK di Badung, bantuan Ogoh-Ogoh hingga Rp40 juta per banjar, tingginya TPP pegawai, serta berbagai tunjangan untuk kepala daerah dan DPRD.
Namun di sisi lain, daerah-daerah seperti Klungkung, Bangli, Jembrana, Karangasem, dan sebagian Buleleng tidak dapat memberikan fasilitas serupa karena keterbatasan PAD. Kesenjangan ini menciptakan “dual economy” dalam satu provinsi, masyarakat dalam satu pulau, satu budaya, dan satu kesatuan sosial hidup dalam standar pelayanan publik yang sangat berbeda.
Padahal, Badung dan wilayah maju lainnya tidak berdiri sendiri. Pariwisata Bali adalah ekosistem yang saling menyokong. Wisatawan yang menginap di Nusa Dua atau Kuta juga menikmati alam dan budaya dari seluruh penjuru Bali, Goa Lawah dan Nusa Penida di Klungkung, Danau Batur di Bangli, Taman Nasional Bali Barat di Jembrana, Pura Besakih hingga desa adat di Karangasem. Namun kontribusi daerah-daerah ini terhadap narasi “brand Bali” tidak berbanding lurus dengan penerimaan fiskal yang mereka dapatkan.
Karena itu, wacana perubahan otonomi daerah berbasis kabupaten menuju otonomi daerah berpusat di provinsi patut dipertimbangkan secara serius.
Mengapa Otonomi Provinsi Penting untuk Bali?
1. Menciptakan Keadilan Fiskal Antarwilayah
Dengan sentralisasi otonomi di tingkat provinsi, pendapatan strategis seperti PHR/PBJT dapat dikelola secara kolektif dan dibagikan kembali berdasarkan kebutuhan, potensi, dan kondisi nyata masyarakat. Model seperti ini telah diterapkan di beberapa negara dengan struktur wilayah kecil, termasuk di negara-negara maju.
2. Bali Lebih Cocok Dikelola sebagai Satu Kesatuan
Sebagai pulau kecil dengan kesamaan budaya, ekologi, serta ketergantungan pada sektor pariwisata, Bali sebenarnya lebih tepat dikelola sebagai satu entitas administratif utama. Fragmentasi kebijakan antar kabupaten justru menghambat efisiensi, terutama dalam tata ruang, lingkungan, pariwisata, dan transportasi.
3. Menghindari “Persaingan Internal” Antar Kabupaten
Saat PAD menjadi basis gengsi politik, kabupaten-kabupaten kaya semakin memperbesar belanja populis, sementara daerah miskin semakin tertinggal. Ini tidak sehat bagi kesatuan Bali sebagai daerah yang mengandalkan harmoni dan gotong royong.
4. Menghadapi Efisiensi Dana Transfer Dari Pusat
Dengan kebijakan fiskal nasional yang semakin efisien dan minim ruang fiskal, daerah tidak lagi bisa terlalu mengandalkan transfer pusat. Bali perlu mengoptimalkan pendapatan internal secara kolektif demi keberlanjutan pembangunan jangka panjang.
Perubahan otonomi daerah bukan proses sederhana. Ada beberapa skenario mekanisme yang dapat ditempuh:
1. Revisi Undang-Undang Otonomi Daerah dan UU Pemerintahan Daerah
Ini adalah jalur paling fundamental. Untuk mengubah peta kewenangan kabupaten menjadi kewenangan provinsi, diperlukan revisi terhadap:
– UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah
– UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Revisi ini bisa mencantumkan pengecualian khusus bagi Bali sebagai “daerah berciri kekhususan”, yaitu provinsi dengan otoritas fiskal yang lebih sentralistik.
2. Mengoptimalkan Undang-Undang Provinsi Bali (UU No. 15/2023)
UU Provinsi Bali sebenarnya sudah memberikan ruang besar bagi penguatan peran provinsi. Namun implementasinya masih terbatas.
Melalui revisi atau penjabaran lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi), provinsi dapat diberi kewenangan lebih luas dalam:
– Pengelolaan PHR/PBJT secara terpusat
– Pengaturan tata ruang lintas kabupaten
– Pengelolaan kawasan strategis pariwisata
– Penyelarasan standar pelayanan publik antarwilayah
–
Dengan dasar UU ini, Bali bisa memperkuat posisi tawar untuk meminta pengaturan kewenangan yang lebih besar.
3. Membentuk Kebijakan “Sharing Pendapatan” Antar Kabupaten di Bali
Tanpa mengubah UU sekalipun, provinsi dan kabupaten dapat menyepakati:
– Skema bagi hasil PHR/PBJT
– Dana solidaritas antar kabupaten
– Pembiayaan bersama untuk pariwisata dan budaya
Namun mekanisme ini membutuhkan kesadaran bersama, komitmen politik, dan sikap kenegarawanan dari para kepala daerah.
4. Mendorong Skema “Provincial Fiscal Authority”
Skema ini dapat mirip seperti:
– Pengelolaan pajak provinsi menjadi sumber utama fiskal Bali
– Pajak-pajak strategis dipungut oleh provinsi dan didistribusikan ke kabupaten
– Kabupaten fokus pada pelayanan publik, bukan pengumpulan pajak
Skema ini dapat diperjuangkan melalui revisi UU atau PP.
Siapa yang Harus Bergerak?
Transformasi besar ini tidak akan terjadi tanpa dorongan politik yang kuat. Karena itu, seluruh elemen pemerintahan perlu terlibat:
– Gubernur Bali → menjadi motor utama advokasi perubahan.
– Para Bupati/Walikota → harus melihat kepentingan jangka panjang Bali, bukan semata ego kabupaten.
– DPRD Kabupaten dan DPRD Provinsi → menyusun regulasi pendukung.
– DPD RI → memperjuangkan kepentingan daerah di tingkat nasional.
– DPR RI → merevisi undang-undang terkait otonomi daerah dan fiskal daerah.
– Masyarakat Sipil dan Akademisi → mendorong kesadaran publik dan kajian ilmiah.
Bali Harus Bergerak Bersama
Ketimpangan fiskal antar kabupaten di Bali bukan hanya persoalan teknis, tetapi telah menjadi isu strategis bagi masa depan Bali. Apakah kita akan membiarkan satu kabupaten menjadi “super kaya” sementara kabupaten lain terus tertinggal? Atau kita ingin menghadirkan Bali yang lebih harmonis, seimbang, dan menyatu?
Otonomi daerah berpusat di provinsi bukan berarti mencabut identitas kabupaten. Ini adalah langkah untuk mengembalikan semangat menyama braya, memastikan bahwa kesejahteraan Bali dibangun secara bersama-sama, bukan sendiri-sendiri.
Kini saatnya Bali berani membayangkan masa depan yang lebih adil, dan memperjuangkannya. (*)

