SEMARAPURA, BALINEWS.ID – Mantan Anggota DPRD Klungkung, Gde Artison Andarawata, mengingatkan pentingnya konsistensi pemerintah daerah dalam menjalankan regulasi yang telah disusun untuk melindungi pasar rakyat dan mendorong pertumbuhan UMKM lokal. Ia menyoroti belum optimalnya implementasi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Rakyat, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Swalayan.
Politisi yang akran disapa Soni itu mengungkapkan, Perda tersebut merupakan perda inisiatif DPRD Klungkung yang ia ajukan sejak 2017, menyusul maraknya kemunculan toko modern berjejaring yang dinilai mulai mengancam eksistensi pasar tradisional. Bahkan, kala itu terdapat toko modern yang berdiri berdekatan dengan pasar rakyat dan beroperasi hingga larut malam.
“Pada 2017 kami melihat tren toko modern berjejaring berkembang sangat cepat dan mulai menekan pedagang kecil. Karena itu DPRD mengambil inisiatif menyusun perda agar ada pengaturan yang jelas dan adil,” ujarnya.
Dalam proses penyusunan perda tersebut, DPRD Klungkung melakukan sejumlah studi banding, salah satunya ke Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut Soni, Kulonprogo dipilih karena dinilai sukses menata toko modern sekaligus mengangkat UMKM lokal.
“Di Kulonprogo, toko modern nasional bahkan diakuisisi dan dirombak menjadi TOMIRA atau Toko Milik Rakyat. Semangatnya koperasi, isinya produk UMKM. Itu contoh konkret regulasi yang menimbulkan efek domino positif bagi ekonomi lokal,” jelasnya.
Ia menambahkan, semangat serupa sebenarnya telah dimasukkan dalam Perda Nomor 13 Tahun 2018 di Klungkung, di antaranya pengaturan kerja sama serta kewajiban toko modern menyerap produk UMKM lokal. Namun hingga kini, implementasi aturan tersebut dinilai belum berjalan maksimal.
“Secara regulasi sudah ada, tetapi penerapannya belum terlihat nyata. Padahal perda ini dirancang agar UMKM benar-benar tumbuh dan naik kelas,” katanya.
Ia juga menanggapi kebijakan Pemerintah Provinsi Bali yang menghentikan izin toko modern berjejaring dengan tujuan melindungi UMKM. Menurutnya, kebijakan tersebut belum menyentuh akar persoalan dan justru berpotensi menimbulkan masalah baru di masa depan.
“Jika UMKM lokal nanti berkembang dan mampu membangun jaringan sendiri, mereka bisa terhambat oleh larangan tersebut. Faktanya, di Bali sudah ada toko modern berjejaring lokal seperti Coco Mart, Bintang, Delta Dewata, hingga Ary’s Mikro, dan ke depan akan muncul lagi dari UMKM yang naik kelas,” tegasnya.
Ia mendorong agar pemerintah lebih memilih pendekatan sinergi ketimbang pembatasan semata. Salah satunya dengan memperkuat peran dinas terkait, khususnya Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dalam mendampingi UMKM agar mampu menghasilkan produk yang kompetitif di pasar nasional hingga internasional.
“Wajibkan toko modern berjejaring menyerap minimal 10 persen produk UMKM lokal Bali, sekaligus membina dan mengarahkan UMKM. Sebagai pelaku pasar, mereka paham standar kualitas dan kebutuhan konsumen,” ujarnya.
Ia pun menekankan, pemerintah harus hadir aktif dalam setiap sendi kehidupan masyarakat Bali dan mulai memproyeksikan pembangunan ekonomi daerah untuk 10 hingga 20 tahun ke depan.
“Jangan bermimpi terlalu jauh tanpa langkah nyata. Perkembangan zaman berjalan cepat, kebijakan juga harus adaptif dan berpihak pada rakyat,” pungkasnya. (*)

