SEMARAPURA, BALINEWS.ID — Mantan anggota DPRD Klungkung, Gde Artison Andarawata, mengkritisi efektivitas kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Ia menilai, penetapan sawah sebagai LP2B belum sepenuhnya menjawab persoalan mendasar yang dihadapi petani di daerah.
Artison yang akrab disapa Soni itu mempertanyakan apakah lahan yang telah ditetapkan sebagai LP2B otomatis memperoleh dukungan penuh dari pemerintah, seperti keringanan atau pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), jaminan ketersediaan pupuk dan bibit, serta kepastian harga jual hasil panen yang menguntungkan petani.
“Kalau sawah sudah masuk LP2B, apakah bebas PBB? Apakah pupuk dan bibit dijamin? Apakah hasil panen pasti dibeli dengan harga yang menyejahterakan? Kalau itu belum terpenuhi, lalu di mana letak keberpihakan pada petani?” ujarnya.
Ia menekankan, LP2B tidak akan berdampak signifikan jika hanya sebatas pelabelan lahan tanpa disertai kebijakan yang benar-benar menguatkan posisi petani. Menurutnya, pemerintah minimal harus memberikan subsidi PBB bagi sawah yang masuk LP2B untuk menunjukkan komitmen terhadap ketahanan pangan.
Artison juga mengungkapkan kompleksitas persoalan yang dihadapi petani, mulai dari minat generasi muda yang semakin rendah untuk bertani, lahan yang sempit dan terbatas, hingga banyaknya petani penggarap yang tidak memiliki lahan sendiri. Kondisi itu disebutnya menyebabkan pendapatan dari pertanian sulit menjadi sumber kesejahteraan yang memadai.
“Coba lihat kenyataan di lapangan. Banyak petani hanya memiliki 12 hingga 30 are lahan. Apakah itu cukup untuk menghidupi keluarga? Ada kajian yang pernah saya dengar, bahwa satu petani bisa sejahtera jika memiliki minimal 4 hektare. Di Bali, kondisi seperti itu hampir mustahil,” tegasnya.
Ia menilai, sebelum berbicara tentang ketahanan pangan, pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan LP2B benar-benar berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani, bukan sekadar menjaga sawah tetap ada, sementara para petaninya tetap hidup dalam kondisi sulit.
Menurutnya, jika bertani benar-benar menguntungkan, masyarakat tidak perlu dipaksa mempertahankan sawah, bahkan bangunan seperti villa maupun hotel pun rela dibongkar untuk dijadikan lahan pertanian.
Pernyataan kritis tersebut diharapkan dapat menjadi perhatian pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan pertanian yang lebih komprehensif dan berpihak pada petani. (*)

