GIANYAR, BALINEWS.ID – Aktivitas penambangan batu padas di Gianyar terus marak, meski tidak satu pun yang memiliki izin resmi. Informasi yang beredar menyebutkan, para pengusaha penambangan galian C ini diduga diminta menyetor Rp 5 juta setiap bulan untuk atensi kepada aparat. Hal tersebut disampaikan oleh salah satu pengusaha penambangan, Lenju Kertawangi, Rabu (20/8/25).
Menurut Lenju, pemerintah harus bersikap tegas menghentikan seluruh kegiatan penambangan ilegal agar tidak menimbulkan kesan adanya pembiaran demi keuntungan oknum tertentu. Ia mengaku mendapat informasi bahwa setoran bulanan Rp 5 juta tersebut dipungut oleh seorang pengusaha, yang disebut-sebut diperuntukkan bagi aparat. Namun, hingga kini tidak jelas siapa sebenarnya penerima uang tersebut.
“Saya mendapatkan informasi, setiap pengusaha diminta setoran 5 juta setiap bulan. Hanya saja tidak jelas kepada siapa uang itu diberikan,” ungkapnya.

Lebih jauh, Lenju menceritakan pengalamannya. Dahulu, ia pernah rutin memberikan “atensi” kepada aparat, tetapi tetap saja menjadi sasaran penindakan. Bahkan dirinya sudah tiga kali ditangkap, sementara penambang lain yang juga menyetor justru dibiarkan. Situasi inilah yang membuatnya memilih berhenti menambang.
“Kalau memang tidak ada izin, seharusnya semua penambangan dihentikan, jangan ada tebang pilih,” tegas pria asal Banjar Gelogor, Lodtunduh, Ubud ini.
Menurutnya, jika penambangan memang dilarang, sebaiknya seluruh kegiatan ditutup. Namun jika diizinkan, pemerintah perlu membuka jalur perizinan agar pengusaha bisa bekerja dengan tenang tanpa ada praktik pungutan liar. Lenju sendiri mengaku masih memiliki lahan, tetapi menunda aktivitas penambangan sampai ada kepastian izin resmi.
Sementara itu, Plt Kepala Satpol PP Gianyar, I Made Arianta, menjelaskan bahwa penambangan batu padas diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan.
Ia menambahkan, meskipun aktivitas penambangan terjadi di Gianyar, pemerintah kabupaten tidak memiliki kewenangan hukum untuk menertibkannya.
“Kewenangan ada di provinsi. Kami akan segera berkoordinasi dengan pihak terkait di provinsi,” ujarnya. (*)