GIANYAR, BALINEWS,ID – Pembentukan Bale Kertha Adhyaksa oleh Kejaksaan Tinggi Bali sebagai forum penyelesaian sengketa hukum di tingkat desa dan desa adat mendapat apresiasi dari berbagai pihak, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Garda Pejuang Penerus Aspirasi Rakyat (GARPPAR). Meski demikian, Ketua LSM GARPPAR, Ngakan Made Rai, mengingatkan pentingnya kejelasan batas kewenangan antara Bale Kertha Adhyaksa dan lembaga Kerta Desa yang telah lama berfungsi dalam menyelesaikan perkara adat di lingkungan desa adat.
“Konsep Bale Kertha Adhyaksa yang mengedepankan pendekatan restorative justice, kekeluargaan, dan musyawarah patut diapresiasi. Namun, perlu dipastikan tidak terjadi tumpang tindih dengan fungsi Kerta Desa yang sudah diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019,” ujar Ngakan Rai di Sekretariat LSM GARPPAR, Jalan Raya Bukit Jati, Gianyar, Bali.
Menurut Pasal 37 Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat, Kerta Desa memiliki tugas untuk menerima, memeriksa, dan menyelesaikan perkara adat (wicara) berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat masing-masing, dengan mekanisme musyawarah atau panyamabrayaan.
Ngakan Rai mempertanyakan ruang lingkup kewenangan Bale Kertha Adhyaksa, terutama jika lembaga tersebut juga akan menangani perkara adat atau permasalahan hukum yang sudah menjadi ranah Kerta Desa. “Kami minta penjelasan dari pihak Kejaksaan Tinggi Bali, perkara hukum seperti apa yang menjadi kewenangan Bale Kertha Adhyaksa? Apakah ini tidak akan tumpang tindih dengan tugas yang sudah dilaksanakan oleh Kerta Desa?” tanyanya.
Ia juga menyinggung potensi konflik yurisdiksi apabila suatu perkara adat yang sedang diproses oleh Kerta Desa kemudian dilaporkan ke penegak hukum formal karena tidak tercapainya kesepakatan dalam musyawarah. “Kalau masyarakat melapor ke polisi karena tidak ada titik temu dalam penyelesaian adat, apakah hal itu menjadi tidak diperbolehkan? Ini perlu diperjelas secara yuridis,” lanjutnya.
Ngakan Rai mengusulkan agar pendekatan preventif lebih dikedepankan oleh Kejaksaan dengan menghidupkan kembali program “Jaksa Masuk Desa”. Program ini dinilai lebih efektif dalam memberikan pemahaman hukum kepada masyarakat untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum, tanpa perlu membentuk lembaga baru yang berpotensi menimbulkan dualisme kewenangan.
“Jaksa sebaiknya turun langsung ke desa-desa untuk memberikan penyuluhan hukum. Dari segi pencegahan, ini jauh lebih efektif dibandingkan membentuk lembaga baru yang bisa beririsan kewenangan dengan Kerta Desa,” ucap Ngakan Rai yang juga menjabat Ketua Partai Gelora Kabupaten Gianyar.
Ia juga mencontohkan bahwa Polres Gianyar secara rutin mengadakan program “Jumat Curhat” sebagai forum komunikasi antara aparat penegak hukum dan masyarakat desa. Program semacam itu, menurutnya, sangat efektif dalam membangun kesadaran hukum masyarakat.
Menutup pernyataannya, Ngakan Rai kembali menggarisbawahi bahwa pelaksanaan tugas Kerta Desa sebagaimana dimuat dalam Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 sudah jelas. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi yang cermat agar keberadaan Bale Kertha Adhyaksa tidak mengaburkan struktur hukum adat yang telah eksis dan berjalan selama ini.
“Kasus-kasus adat seperti di Desa Taro yang hingga kini belum tuntas menunjukkan pentingnya sosialisasi hukum yang konsisten di akar rumput. Peran jaksa dalam edukasi hukum ke masyarakat desa lebih dibutuhkan daripada membentuk lembaga baru yang belum tentu efektif,” pungkasnya. (bip)