DENPASAR, BALINEWS.ID – Anggota DPR RI Dapil Bali sekaligus Koordinator Penyusunan Perda No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat, I Nyoman Parta, mengajak seluruh pihak untuk menjaga keluhuran Desa Adat dan tidak salah menempatkan peran serta kewenangan Majelis Desa Adat (MDA). Hal ini disampaikannya sebagai bentuk keprihatinan atas dinamika pemaknaan Perda yang dinilai mulai bergeser dari substansi aslinya.
“Desa Adat di Bali merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun. Desa adat memiliki tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri,” tegas Nyoman Parta, Selasa (16/7).
Lebih lanjut, Parta menyoroti bahwa pengakuan atas Desa Adat sejatinya telah dijamin dalam Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945, yang menyebut bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Namun menurutnya, bunyi pasal tersebut masih bersifat normatif dan belum operasional. Oleh karena itu, dibutuhkan turunan hukum yang konkret dan membumi seperti Perda No. 4 Tahun 2019.
“Perda ini hadir bukan hanya untuk memberikan kepastian hukum bagi Desa Adat, tetapi juga untuk memajukan adat, budaya, dan kearifan lokal secara sakala dan niskala. Termasuk mendorong kesejahteraan Krama Desa Adat melalui Padruwen dan sistem perekonomian adat yang mandiri,” jelas politisi asal Guwang ini.
Ia menjelaskan bahwa Perda ini secara eksplisit memuat tujuan-tujuan besar, mulai dari pengakuan atas keberadaan Desa Adat sebelum dan sesudah kemerdekaan, hingga memperkuat peran krama sebagai subjek pembangunan.
Nyoman Parta juga menyoroti pentingnya MDA sebagai lembaga forum komunikasi antar Desa Adat, bukan lembaga struktural yang memiliki kewenangan hierarkis atas Desa Adat.
“MDA adalah kelanjutan dari Majelis Desa Pakraman (MDP) yang dulunya diatur dalam Perda No. 3 Tahun 2001. Dalam Perda No. 4 Tahun 2019, eksistensi MDA semakin diperkuat, bahkan diatur dalam satu bab khusus, mulai dari Pasal 72 sampai Pasal 80,” ujarnya.
Ia menyampaikan apresiasi terhadap Gubernur Bali, Wayan Koster, yang telah memfasilitasi pendirian kantor MDA tingkat provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Bali. Bahkan Perda mewajibkan pemerintah daerah mengalokasikan anggaran dan sarana pendukung bagi MDA.
Namun demikian, ia menekankan bahwa tidak ada satu pun pasal dalam Perda tersebut yang memberikan kewenangan MDA untuk melantik atau mengukuhkan Bendesa Adat.
“Hal ini penting diluruskan. Jabatan Bendesa Adat sah secara hukum berdasarkan Paruman yang diatur melalui Awig-Awig dan/atau Pararem masing-masing desa adat, bukan berdasarkan Surat Keputusan (SK) MDA. MDA adalah forum, bukan atasan dari Desa Adat,” tegasnya.
MDA sebagai Wadah, Bukan Penguasa
Dalam Pasal 76 Perda No. 4 Tahun 2019, dijelaskan bahwa MDA bertugas untuk mengayomi, membina, dan memberikan saran atau pendapat terhadap berbagai persoalan adat kepada pemerintah daerah dan pihak terkait lainnya. MDA juga mendampingi Desa Adat dalam penyusunan Awig-Awig dan Pararem, serta menjadi forum penyelesaian perkara adat yang tak terselesaikan di tingkat desa.
Namun demikian, Parta menekankan, “MDA dibentuk oleh Desa Adat sebagai pasikian, bukan sebaliknya. Maka menjadi tidak pas jika lembaga ini memosisikan diri sebagai yang mengatur atau memberi pengesahan terhadap Bendesa Adat. Ini bukan hanya soal aturan, tapi soal keluhuran dan logika dasar kelembagaan adat kita.”
Politisi PDIP ini juga mengingatkan bahwa dalam merumuskan Perda No. 4 Tahun 2019, terdapat banyak dinamika dan diskusi filosofis yang melatarbelakangi setiap pasal dan ayat. Ia pun membuka diri untuk diundang berbagai pihak yang ingin mendalami dan memahami secara utuh isi dan semangat dari Perda tersebut.
“Mari kita jaga keluhuran Desa Adat dan kembalikan marwah MDA ke posisi yang tepat sesuai yang dimaksud dalam Perda. Jangan sampai kekeliruan tafsir justru mencederai otonomi dan keberagaman desa adat yang kita junjung tinggi,” tutupnya. (*)