NASIONAL, BALINEWS.ID – Polemik penonaktifan sejumlah anggota DPR RI oleh partai politik menuai sorotan. Makna partai menonaktifkan kadernya sebagai anggota DPR RI lantas dipertanyakan oleh publik.
Praktisi hukum, Gede Pasek Suardika (GPS) menilai keputusan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
“Setahu saya, dalam UU tentang MD3 yang mengatur soal DPR tidak ada pengaturan atau istilah tentang anggota DPR RI non aktif. Yang ada adalah Pergantian Antar Waktu (PAW) dan itu ada syarat dan mekanismenya,” tulis GPS di laman media sosialnya.
Ia menegaskan, jika partai menyebut ada anggota DPR dinonaktifkan melalui surat resmi, hal itu hanya akan terlihat “serem tapi pepesan kosong”. Menurutnya, prosedur yang sah tetap melalui pengajuan surat ke DPR RI untuk diproses sebagai PAW dengan ketentuan yang berlaku.
Lebih lanjut, GPS menyinggung soal hak imunitas anggota DPR yang tidak bisa dicabut hanya karena pernyataan di ruang publik. “Ngomong tolol, ngomong 3 juta itu lebih kecil dari penghasilan saya dll itu kategori pernyataan. Sehingga tidak bisa jadi alasan PAW. Nah lho… Apakah ini buah simalakama atau cara akal-akalan mengelabui publik. Untuk mejeng tidak bisa dinonaktifkan,” imbuhnya.
Sebelumnya, Partai NasDem resmi menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach sebagai anggota DPR RI periode 2024–2029. Langkah serupa juga dilakukan Partai Amanat Nasional (PAN) dengan mencopot Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) dan Surya Utama (Uya Kuya) dari keanggotaan DPR RI.
Kebijakan ini kemudian menimbulkan tanda tanya besar di publik: apakah istilah “nonaktif” benar-benar memiliki kekuatan hukum, atau sekadar manuver politik belaka. (*)