TABANAN, BALINEWS.ID — Kawasan Subak Jatiluwih yang berstatus Warisan Budaya Dunia (WBD) kembali menjadi sorotan. Praktisi hukum sekaligus Sekretaris Gercin Bali, Wayan Pasek Sukayasa, ST., SH., M.I.Kom., membeberkan temuan pelanggaran tata ruang yang dinilainya kian mengkhawatirkan.
Dalam keterangannya di Denpasar, Senin (1/12/2025), Pasek Sukayasa menyatakan sedikitnya 13 bangunan akomodasi pariwisata diduga melanggar Perda Nomor 3 Tahun 2023 tentang RTRW Kabupaten Tabanan. Pelanggaran meliputi alih fungsi Lahan Sawah Dilindungi (LSD), pendirian bangunan tanpa persetujuan bangunan gedung, hingga pembangunan pada zona yang semestinya steril dari aktivitas komersial.
Selain itu, ia juga mengidentifikasi lebih dari 20 bangunan tambahan—seperti vila, restoran hingga kafe—yang dinilai melanggar ketentuan tata ruang karena berdiri di sempadan jalan, di lahan sawah aktif, ataupun mengganggu pandangan lanskap budaya subak dan Gunung Batukaru.
“Bangunan tanpa izin, alih fungsi lahan, hingga berdirinya bangunan yang menutup view terasering merupakan pelanggaran serius. Jika dibiarkan, kerusakan lanskap bisa menjadi permanen,” tegasnya.
UNESCO Bisa Beri Peringatan Hingga Cabut Status WBD
Pasek menilai pelanggaran tersebut bukan sekadar persoalan administratif, melainkan ancaman langsung terhadap status internasional Jatiluwih. Menurutnya, UNESCO mensyaratkan perlindungan ketat terhadap kawasan subak, termasuk menjaga integritas lanskap dan fungsi irigasi tradisional.
“Apabila pemerintah tidak mengambil langkah tegas, risiko pencabutan status Warisan Budaya Dunia sangat nyata,” ujarnya. Ia menambahkan, hilangnya status WBD dapat berimbas pada menurunnya kunjungan wisatawan, rusaknya ekosistem subak, hingga merosotnya pendapatan masyarakat lokal.
Pelanggaran Dinilai Terstruktur dan Meluas
Lebih lanjut, Pasek memandang kasus yang terjadi di Jatiluwih bersifat sistematis. Indikasinya terlihat dari bangunan tanpa izin, alih fungsi lahan sawah aktif, terganggunya aliran subak, hingga pendirian bangunan pada “view corridor” yang wajib dijaga sesuai ketentuan UNESCO.
Menurutnya, lemahnya pengawasan serta kurang tegasnya penegakan hukum menjadi faktor yang memperparah kondisi kawasan tersebut.
Dorong Pembongkaran Bangunan Ilegal
Untuk memulihkan kondisi tata ruang, Pasek mendorong Pemkab Tabanan agar segera mengambil tindakan. Ia mengajukan sejumlah rekomendasi, antara lain:
penindakan tegas berupa sanksi administratif hingga pembongkaran bangunan yang melanggar,
perlindungan sistem subak melalui pemberian insentif dan penguatan agro-ekowisata,
peningkatan pengawasan terintegrasi bersama Satpol PP, DPRD, dan dinas teknis,
penerapan Heritage Impact Assessment (HIA) untuk setiap rencana pembangunan di kawasan WBD.
Ia juga menegaskan bahwa dasar hukum penindakan sudah jelas, baik melalui Perda RTRW Kabupaten Tabanan maupun Perda Provinsi Bali terkait WBD dan Lahan Sawah Dilindungi.
Selamatkan Identitas Budaya
Pasek menutup pernyataannya dengan menekankan pentingnya menjaga keutuhan kawasan Jatiluwih yang bukan sekadar destinasi wisata, tetapi bagian dari warisan budaya Bali.
“Jika Jatiluwih rusak, kita kehilangan identitas. Ini bukan hanya soal aturan, tetapi harga diri Bali,” ujarnya. (*)

