DENPASAR, BALINEWS.ID – Fakta mengejutkan terungkap dalam rapat Panitia Khusus (Pansus) Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (TRAP) DPRD Bali bersama sejumlah instansi seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bali, Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali Penida, Tahura, dan beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lainnya.
Ketua Pansus TRAP DPRD Bali, Made Suparta, mengungkapkan bahwa sedikitnya 106 sertifikat hak milik (SHM) telah diterbitkan di kawasan konservasi mangrove Tahura Ngurah Rai, yang sejatinya merupakan kawasan lindung.
“Ini kejahatan luar biasa yang mengancam masa depan Bali. Dugaan permainan mafia tanah sudah sangat jelas. Sertifikat-sertifikat itu harus dibongkar, dan para pemainnya mesti dipenjarakan,” tegas Suparta, politisi asal Tabanan yang juga Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali, Kamis (25/9/2025).
Mafia Tanah Incar Lahan Strategis Mangrove
Menurut Suparta, kawasan mangrove di sepanjang By Pass Ngurah Rai menjadi incaran sindikat mafia tanah karena nilai ekonominya yang tinggi. Modus yang digunakan pun terbilang sistematis, dimana pihak-pihak tertentu mengajukan permohonan sertifikat, lalu SHM yang sudah terbit dijual ke pihak penadah dan kemudian dikelola untuk kepentingan bisnis.
“Ini sudah seperti sindikat, melibatkan banyak kalangan bahkan oknum di pemerintah. Kalau tidak ada efek jera, praktik ini akan terus berulang,” ujarnya.
Ia juga mempertanyakan keberanian BPN menerbitkan sertifikat di kawasan lindung, yang jelas-jelas melanggar peraturan, termasuk UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta sejumlah regulasi daerah.
Ancaman Pidana dan Desakan Penindakan
Suparta mengingatkan bahwa alih fungsi kawasan lindung seperti mangrove merupakan pelanggaran berat dengan konsekuensi hukum serius.
“Hutan mangrove merupakan kawasan konservasi dan hutan lindung yang tidak boleh dialihfungsikan, ditebang, apalagi diuruk. Jika dilanggar, ada ancaman pidana 10 tahun penjara dan denda Rp2 miliar. Undang-undang sudah sangat jelas. Jadi jangan ada lagi alasan,” tegasnya.
Dalam rapat tersebut, Kepala Kanwil BPN Bali, Made Daging, mengakui adanya 106 SHM yang sudah terbit, terdiri dari 71 di wilayah Badung dan 35 di Denpasar. Namun, saat ditanya mengenai total luasan lahan dan dasar penerbitan sertifikat, pihak BPN tidak bisa memberikan penjelasan yang pasti.
Suparta juga menyoroti keberadaan PT Greenblocks Sustainable Building, perusahaan milik warga negara Rusia, yang disebut membangun usaha di atas lahan mangrove bersertifikat SHM.
“Masalahnya bukan sekadar ada sertifikat. Pertanyaannya kenapa sertifikat bisa terbit di kawasan Tahura Ngurah Rai? Ini jelas kawasan lindung,” katanya.
Ia menambahkan, lahan yang semula merupakan area resapan dengan vegetasi mangrove kini telah diuruk menggunakan batu kapur, sehingga menyerupai daratan. Menurutnya, hal ini merupakan bentuk reklamasi ilegal yang merusak ekosistem.
Pansus TRAP DPRD Bali akan menelusuri pihak-pihak yang terlibat, mulai dari pengusul awal, penadah, hingga aktor intelektual di balik penerbitan 106 SHM tersebut.
“Semua harus diusut, mulai dari pemain lapangan, penadah, aktor intelektual, hingga oknum pemerintah yang terlibat. Tidak ada alasan, semua wajib diberikan ganjaran hukum,” ujarnya dengan tegas.
Pansus juga merekomendasikan agar penegak hukum, termasuk kepolisian, kejaksaan, dan Satpol PP, segera turun tangan. Sertifikat yang bermasalah diminta untuk segera dicabut sesuai dengan UU No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda di Atasnya, terutama bila ditemukan cacat hukum atau manipulasi dalam proses penerbitannya.
Kembalikan Fungsi Mangrove sebagai Sabuk Hijau
Di akhir pernyataannya, Suparta menegaskan pentingnya mengembalikan fungsi ekologis kawasan Tahura sebagai sabuk hijau (green belt) yang berfungsi melindungi Bali dari banjir dan intrusi air laut.
“Alih fungsi Tahura menjadi salah satu penyebab banjir. Air yang seharusnya terserap mangrove malah terhalang bangunan. Bali tidak boleh kalah oleh mafia tanah,” pungkasnya. (*)