DENPASAR, BALINEWS – Ida Cokorda Mengwi XIII resmi dinobatkan dari nama sebelumnya Anak Agung Gde Agung setelah melalui serangkaian upacara sakral Abhiseka atau penobatan yang berlangsung di Pura Taman Ayun pada 7 Juli 2025 lalu.
Penglingsir Puri Ageng Mengwi, AA Gde Agung, kemudian mengajukan perubahan nama di Pengadilan Negeri Denpasar pada Rabu (20/8) pagi, agar perubahan nama tersebut diakui secara hukum positif oleh negara.
Sidang dipimpin hakim tunggal, Tjokorda Putra Budi Pastima. Dalam persidangan itu, AA Gde Agung bersama istrinya, Jero Nyoman Ratna, juga mengajukan perubahan nama menjadi Ida Istri Mengwi. Sidang dihadiri panjak Puri Ageng Mengwi, kuasa hukum I Gusti Agung Gede Kencana Putera, perwakilan Disdukcapil Kabupaten Badung, serta tokoh masyarakat adat.
Ada lima saksi yang dihadirkan, di antaranya Angga Asta Puri Ageng Mengwi, I Gusti Agung Gede Manguningrat, mantan Sekda Badung sekaligus Ketua Panitia Abhiseka Ida Cokorda, Dr. I Wayan Subawa, Bendesa Adat Mengwi Ida Bagus Oka, Ketua Mangu Kerta Mandala/Majelis Desa Adat Mengwi I Made Widiada, serta Perbekel Desa Mengwi I Nyoman Suwarjana.
Dalam keterangannya, saksi Made Widiada dan Agung Gede Manguningrat menegaskan bahwa permohonan perubahan nama merupakan kelanjutan dari upacara Abhiseka agar mendapatkan pengesahan secara hukum.
“Abhiseka melibatkan masyarakat, Asta Puri di Mengwi, tokoh adat, dan semuanya secara aklamasi menyetujui agar AA Gde Agung dinobatkan menjadi Cokorda Mengwi XIII,” kata Widiada di hadapan hakim.
Ida Bagus Oka selaku Bendesa Adat Mengwi juga menambahkan bahwa upacara sakral ini dipersiapkan matang dengan tujuan pelestarian budaya dan agama, bukan untuk ambisi pribadi.
Hal senada disampaikan mantan Sekda Badung, I Wayan Subawa, yang menyebut Abhiseka menekankan pengabdian dan tanggung jawab spiritual sesuai tradisi.
“Beliau tidak terpikir untuk menjadi raja, melainkan justru meningkatkan pengabdian kepada masyarakat, adat, budaya, dan agama. Itu tujuan pokok beliau,” ujarnya.
Perbekel Desa Mengwi, I Nyoman Suwarjana, memastikan administrasi desa akan menyesuaikan seluruh prosedur setelah putusan pengadilan, sehingga pergantian nama menjadi Cokorda Mengwi XIII sah secara hukum.
Para saksi menguatkan permohonan perubahan nama AA Gde Agung, bahwa selain sah secara adat melalui Abhiseka, proses hukum juga diperlukan untuk memperkuat legalitas dan kesinambungan pengabdian beliau bagi masyarakat Mengwi.
Usai sidang, AA Gde Agung menegaskan bahwa perubahan nama ini penting demi keselarasan antara hukum adat, spiritual, dan hukum positif negara.
“Yang paling penting sekarang adalah proses saya sebagai warga negara Indonesia yang menghormati hukum NKRI yang berlaku. Jadi lengkap, sah secara sekala-niskala dan hukum positif,” ujarnya.
Pergantian nama ini bahkan mendapat sambutan baik dari Sri Sultan Hamengkubuwana X Yogyakarta.
Mantan Bupati Badung dua periode (2005–2015) itu juga menyebut seluruh rangkaian berjalan cepat, hanya dalam satu minggu sejak permohonan diajukan. Ia pun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas dukungan kelancaran sidang.
Sidang lanjutan dijadwalkan pada 27 Agustus 2025, sebelum diproses di Disdukcapil Kabupaten Badung terkait dokumen kependudukan seperti KTP, kartu keluarga, hingga akta kelahiran.
Ia menegaskan, perubahan nama bukan untuk menghidupkan feodalisme.
“Itu tidak ada urusannya dengan feodal. Saya menghormati budaya dan adat, serta melaksanakan drestan lan sesanan puri. Nama saya tidak ada kata raja, hanya Cokorda Mengwi XIII,” tegasnya.
Nama tersebut juga merupakan bagian dari rangkaian sejarah sejak Cokorda Sakti Blambangan, raja Mengwi pertama yang kemudian dilanjutkan ayahnya hingga kini diwarisi dirinya sebagai penerus ke-13.
“Feodalisme itu soal sikap mental, tidak harus setiap orang puri lahir langsung menjadi feodal,” jelasnya.
Sebagai penutup, ia menekankan bahwa tujuan utama dari prosesi ini adalah meningkatkan pengabdian kepada masyarakat.
“Harapan saya, sebagai Cokorda Mengwi XIII, hidup saya bisa lebih bermanfaat bagi masyarakat, baik secara sekala-niskala, adat, budaya, maupun spiritual,” pungkasnya. (*)