DENPASAR, BALINEWS.ID – Pihak SMP PGRI 7 Denpasar membantah adanya aksi perundungan (bullying) terhadap seorang siswi berinisial C (14) yang belakangan viral di media sosial. Menurut pihak sekolah, insiden yang terjadi hanyalah kesalahpahaman antar siswa berinisial A dengan korban inisial C dan dua temannya terkait iuran kelas mingguan sebesar Rp2.000.
Wali kelas sekaligus guru Bimbingan Konseling (BK), Komang Jumantari, menjelaskan bahwa pertengkaran bermula saat salah satu teman korban yang menjabat sebagai bendahara kelas menagih iuran kelas kepada si A.
“Masalah awalnya karena uang kas. Ada beberapa siswa yang belum bayar, termasuk si A . Pas ditagih, mungkin dia merasa tersinggung, tapi sudah dibayar,” jelas Jumantari saat ditemui, Sabtu (10/5).
Namun, setelah jam istirahat, A disebut mencari bendahara kelas (teman korban) dan menanyakan alasan ketidaksukaan terhadap dirinya.
“Si A bilang, ‘Kalau kamu nggak suka sama aku, bilang.’ Saat itu si bendahara bersama C dan E. Sempat terjadi adu argumen dan tarik-menarik di kelas,” katanya.
Jumantari menegaskan bahwa tidak ada aksi pengeroyokan. “Yang terlibat hanya A dan C (korban) bersama kedua temannya. Tidak ada pengeroyokan, tidak ada bullying. Yang terjadi hanya salah paham antar teman dekat. Si A itu sendiri sedangkan si C (korban) itu bertiga,” ucapnya. Ia juga menyebut bahwa luka yang dialami salah satu siswi hanya ringan.
“Katanya hanya bibir sakit sedikit, sudah diobati saat itu,” terangnya.
Guru-guru langsung turun tangan saat insiden terjadi. “Anak-anak langsung kami bawa ke ruang guru, kami mediasi, dan saat itu semua sudah berdamai,” katanya.
Ia menambahkan bahwa informasi yang menyebut C dibully karena tidak memiliki ayah adalah tidak benar.
“Kalau soal ‘nggak punya bapak’, saya tidak pernah dengar itu disebut di sekolah. Tidak pernah ada laporan dari siswa soal itu,” tegasnya.
Pihak sekolah menyebut siswa-siswa yang terlibat adalah anak-anak berprestasi dan selama ini berteman dekat sejak SD. Namun, karena kejadian ini, sekolah masih menunggu keputusan kepala sekolah apakah akan memisahkan mereka dari satu kelas atau tidak.
Sementara itu, proses hukum tetap berjalan. “Kami sudah melakukan mediasi antara orang tua korban, pelaku, yayasan, perwakilan Polda, dan pihak perlindungan anak. Surat pernyataan sudah ditandatangani kedua belah pihak, dan anak-anak juga berkomitmen untuk tidak mengulangi hal serupa,” ujar Jumantari.
Pihak sekolah berharap masyarakat tidak langsung menghakimi tanpa mengetahui fakta sebenarnya. “Saat ini kedua belah pihak sepakat berdamai, meski proses hukum berjalan,” tutupnya. (*)