BALINEWS.ID, DENPASAR – Ancaman krisis sampah di Bali dinilai berada di titik kritis menjelang 23 Desember 2025. Politisi dan pemerhati kebijakan publik, I Gusti Putu Artha, memperingatkan potensi “bom sampah” jika kebijakan penutupan TPA Suwung tidak disertai solusi pengelolaan yang realistis dan terukur.
Berdasarkan data Pusat Pengendalian Lingkungan Hidup Bali–Nusra per Agustus 2025, total timbulan sampah di Bali mencapai 1.254.235 ton per tahun atau rata-rata 3.436 ton per hari. Denpasar menyumbang sekitar 1.005 ton per hari, sementara Badung 547 ton per hari, dengan komposisi 60–70 persen sampah organik. Namun, dari jumlah tersebut, sampah yang benar-benar terkelola masih sangat terbatas.
“Di Denpasar, dari 1.005 ton sampah per hari, baru sekitar 124 ton yang terkelola. Artinya, sekitar 881 ton masih masuk ke TPA Suwung. Di Badung, dari 574 ton per hari, baru 224 ton terkelola,” kata Gusti Putu Artha, yang pernah menjabat sebagai komisioner KPU ini.
Kondisi ini, menurutnya, menunjukkan ketimpangan serius antara produksi sampah dan kapasitas pengelolaan di lapangan. Ia juga menegaskan bahwa teguran Kementerian Lingkungan Hidup kepada sejumlah daerah di Bali bukanlah perintah penutupan total TPA, melainkan perintah menghentikan praktik open dumping dan beralih ke sanitary landfill.
“Isu bahwa TPA harus ditutup total adalah narasi yang disesatkan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Artha menyinggung terbitnya Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025 tentang penanganan sampah perkotaan melalui teknologi Waste-to-Energy (WTE). Regulasi ini menargetkan 100 persen sampah terkelola pada 2029, termasuk rencana pembangunan fasilitas PSEL di Bali dengan lahan sekitar 5 hektare di kawasan Benoa.
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa sanksi pidana dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 hanya berlaku jika pemerintah tetap melakukan open dumping setelah batas waktu 23 Desember.
“Pidana tidak berlaku jika pengelolaan dilakukan dengan konsep sanitary landfill. Ini penting diluruskan agar publik tidak salah paham,” tegas Gusti Putu Artha.
Dalam konteks politik, Artha menilai partai-partai yang memegang kekuasaan di Bali sejak lama memiliki tanggung jawab besar atas gagalnya manajemen sampah. Ia juga menyebut secara khusus tanggung jawab kepala daerah di Denpasar dan Badung yang dinilai belum cakap meneruskan dan merevitalisasi fasilitas pengolahan sampah yang telah dibangun dengan dana besar.
Ia memprediksi, jika setelah 23 Desember lebih dari 1.000 ton sampah Denpasar dan Badung tidak diizinkan masuk ke TPA Suwung, maka kawasan wisata seperti Denpasar, Kuta, Sanur, Canggu, dan Seminyak berpotensi menjadi sorotan dunia bukan karena pariwisata, melainkan karena tumpukan sampah, bau menyengat, dan ancaman banjir.
“Solusinya sederhana tapi berat secara politik: gubernur, wali kota, dan bupati harus berani meminta maaf kepada rakyat Bali, mengizinkan TPA Suwung beroperasi dengan pola sanitary landfill hingga PSEL berjalan, sambil tetap menguatkan pengelolaan sampah di hulu,” kata Gusti Putu Artha.
Ia menutup pernyataannya dengan peringatan keras agar kesalahan yang sama tidak terulang. “Hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya,” pungkasnya. (*)

