NASIONAL, BALINEWS.ID – Kasus dugaan pelanggaran hak cipta yang melibatkan gerai Mie Gacoan di Bali kembali menjadi sorotan, khususnya soal kewajiban pembayaran royalti musik di tempat usaha.
Masalah ini mencuat setelah Direktur Mie Gacoan Bali, I Gusti Ayu Sasih Ira, ditetapkan sebagai tersangka. Ia diduga menggunakan musik di gerainya tanpa membayar royalti sebagaimana diatur dalam peraturan hak cipta yang berlaku.
Imbas dari kasus ini, pelaku usaha pun semakin berhati-hati dalam memilih musik yang diputar di tempat mereka. Sebagian pemilik restoran bahkan mulai beralih menggunakan suara-suara alami seperti gemericik air atau kicauan burung sebagai latar suara, demi menghindari potensi pelanggaran hukum dan kewajiban membayar royalti.
Namun, langkah tersebut ternyata tidak sepenuhnya aman. Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, menjelaskan bahwa suara alam pun dapat terkena kewajiban royalti, tergantung dari sumber rekamannya.
“Kalau yang diputar itu adalah rekaman suara burung atau suara alam lainnya, tetap ada hak dari produser fonogramnya. Produser yang merekam pertama kali memiliki hak terkait atas rekaman itu. Jadi meskipun hanya suara alam, jika digunakan tanpa izin, tetap bisa melanggar hukum,” ujarnya.
Ketentuan tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, khususnya Pasal 24, 26, dan 27 yang mengatur tentang fonogram.
Pasal 24 menyatakan bahwa produser fonogram – yaitu pihak yang pertama kali merekam suara dan memfiksasinya – memiliki hak ekonomi. Pasal ini menyebut:
“Produser Fonogram memiliki hak ekonomi. Hak ekonomi Produser Fonogram sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak melaksanakan sendiri, memberikan izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan: Penggandaan atas Fonogram dengan cara atau bentuk apapun; Pendistribusian atas Fonogram asli atau salinannya; penyewaan kepada publik atas salinan Fonogram; dan penyediaan atas Fonogram dengan atau tanpa kabel yang dapat diakses publik. Pendistribusian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, tidak berlaku terhadap salinan Fiksasi atas pertunjukan yang telah dijual atau yang telah dialihkan kepemilikannya oleh Produser Fonogram kepada pihak lain. Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi Produser Fonogram sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendapatkan izin dari Produser Fonogram.”
Sementara itu, Pasal 26 memberikan pengecualian penggunaan fonogram tanpa izin, tetapi hanya untuk keperluan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan:
“Penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan tanpa izin Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.”
Kemudian, dalam Pasal 27 dijelaskan bahwa:
“Fonogram yang tersedia untuk diakses publik dengan atau tanpa kabel harus dianggap sebagai Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman untuk kepentingan komersial.”
Dengan demikian, pelaku usaha perlu benar-benar memahami bahwa setiap penggunaan audio, termasuk rekaman suara alam, tetap harus memperhatikan hak terkait dari produser fonogram guna menghindari pelanggaran hukum yang berujung pada sanksi. (*)