DENPASAR, BALINEWS.ID – Sidang kasus dugaan korupsi perizinan proyek rumah bersubsidi yang menyeret Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Buleleng, I Made Kuta, kini memasuki babak akhir. Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Selasa (7/10), Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Bali, I Nengah Astawa, menuntut terdakwa dengan hukuman enam tahun penjara dan denda sebesar Rp300 juta subsider empat bulan kurungan.
Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Gde Putra Astawa itu juga turut menghadirkan terdakwa lain, yakni Pejabat Teknik Tata Bangunan dan Perumahan di Dinas PUTR Buleleng, Ngakan Anom Diana Kesuma Negara. Dalam tuntutannya, JPU menyatakan kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
“Terdakwa Made Kuta telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Tipikor,” tegas JPU dalam persidangan.
Meskipun demikian, JPU tidak menuntut terdakwa Made Kuta membayar uang pengganti. Pasalnya, pria asal Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada, Buleleng itu, telah mengembalikan uang hasil korupsi sebesar Rp1 miliar ke Kejati Bali.
Sementara itu, Ngakan Anom dituntut hukuman lebih ringan, yakni lima tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan. Sidang akan dilanjutkan pada Senin, 14 Oktober 2025, dengan agenda pembacaan nota pembelaan (pledoi) dari masing-masing terdakwa.
Sebelumnya, kedua pejabat Pemkab Buleleng ini diduga terlibat dalam praktik korupsi perizinan pembangunan rumah bersubsidi sejak 2019 hingga 2023. Modusnya, dengan meminta sejumlah uang kepada para pengusaha properti yang tengah mengurus berbagai izin, mulai dari izin prinsip, Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), hingga Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
Dari hasil penyelidikan, perbuatan tersebut menguntungkan pribadi Made Kuta hingga Rp3,1 miliar, sementara Ngakan Anom memperoleh Rp568,7 juta. Sejumlah pengusaha pun menjadi korban pungutan liar tersebut. Di antaranya Ketut Artana (CV Panji Harmoni) yang dimintai Rp95 juta, I Gede Ngurah Adi Mahayasa (PT Tri Amertha Sejahtera) Rp253 juta, Gusti Nyoman Punarbawa (CV Catur Putra Dana) Rp110 juta, Gede Bayu Ardana (PT Grahadi Jaya) Rp250 juta, dan Kadek Budiasa (PT Pacung Permai) sebesar Rp490 juta.
Dalam kesaksiannya, pengusaha Ketut Artana mengaku sempat diminta uang sebesar Rp15 juta pada tahun 2020 untuk penerbitan izin prinsip lahan di Desa Panji. Dua tahun kemudian, saat mengurus PKKPR untuk lokasi berbeda, terdakwa kembali meminta Rp120 juta. Setelah ditolak, nominal tersebut diturunkan menjadi Rp20 juta melalui perantara.
Keterangan senada juga disampaikan saksi I Gede Ngurah Adi Mahayasa, yang mengaku terpaksa memberikan uang karena takut izinnya tidak diproses. Bahkan, saksi lain, Gede Krisna Maha Saputra dari PT Pacung Indo Jaya, menyebut sempat diminta Rp85 juta untuk penerbitan PKKPR melalui staf terdakwa bernama Agus Kristiawan.
Diketahui, Made Kuta yang menjabat sebagai Kepala DPMPTSP sejak 2022 memiliki kewenangan besar dalam proses perizinan sesuai Peraturan Bupati Buleleng Nomor 21 Tahun 2022. Namun, kewenangan tersebut justru disalahgunakan untuk memeras para pemohon izin.
Kini, publik menanti langkah majelis hakim dalam persidangan berikutnya yang akan menentukan nasib dua pejabat Buleleng tersebut di meja hijau. (*)