BADUNG, BALINEWS.ID – Polemik penutupan akses jalan oleh manajemen Garuda Wisnu Kencana (GWK) masih bergulir. Bagi masyarakat Ungasan dan sekitarnya, masalah ini tidak sekadar soal infrastruktur, melainkan menyangkut harga diri dan identitas orang Bali.
Konflik bermula dari kesepakatan yang dibuat sejak tahun 1999–2000, di mana pihak GWK berjanji menyediakan akses jalan bagi masyarakat, termasuk untuk kegiatan sosial dan keagamaan. Kesepakatan itu juga mencakup pembangunan fasilitas publik serta prioritas kerja bagi warga lokal. Bahkan, pada 7 Juli 2022 telah diterbitkan akta pelepasan hak dari GWK kepada Pemkab Badung, yang memperkuat status jalan tersebut sebagai aset publik.
Namun sejak April 2024, manajemen GWK melalui PT GAIN justru mengirim surat yang menegaskan niat menutup akses dengan memagari kawasan. Situasi semakin memanas ketika hingga batas waktu yang diberikan DPRD Bali, pagar pembatas belum juga dibongkar meskipun rekomendasi resmi telah dikeluarkan pada 22 September 2025.
Kritik keras datang dari berbagai pihak, salah satunya dari Forum Alumni Kesatuan Mahasiswa Hindu Indonesia atau FA KMHDI Bali.
Ketua FA KMHDI Bali, I Ketut Sae Tanju, menegaskan bahwa penutupan akses jalan ini menciderai harga diri masyarakat Bali.
“Tindakan GWK sudah menginjak harga diri orang Bali. Hanya hati yang sudah kotor yang tega membiarkan warga terisolasi seperti ini,” ujarnya.
Berbagai tokoh desa adat juga menegaskan bahwa dokumen kesepakatan dan rekam jejak administratif memperlihatkan jelas bahwa jalan tersebut adalah milik publik. Mereka menilai sikap GWK sebagai bentuk ingkar janji terhadap komitmen yang pernah dibuat.
Kekecewaan masyarakat semakin dalam karena rekomendasi DPRD Bali tak diindahkan. Bagi warga, hal ini bukan hanya persoalan jalan, tetapi juga menyangkut penghormatan terhadap keputusan lembaga resmi dan martabat masyarakat. Jika tidak segera ditangani, konflik ini berpotensi menimbulkan luka sosial yang berkepanjangan. (*)