INTERMESO, BALINEWS.ID – Menjelang penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung di Bali pada Selasa (23/12/25), masyarakat dihadapkan pada tantangan besar dalam pengelolaan sampah. Selama bertahun-tahun, sistem pengelolaan sampah masih bertumpu pada pembuangan terpusat, sementara volume sampah terus meningkat. Ketika opsi tersebut semakin terbatas, masyarakat didorong untuk meakukan pengolahan sampah berbasis sumber. Salah satu solusi yang banyak didorong adalah mengolah sampah organik rumah tangga menjadi kompos.
Mengolah sampah organik menjadi kompos memang terlihat sederhana. Cukup mengumpulkan sisa sayur, buah, dan daun kering, lalu menunggunya terurai secara alami. Namun, dalam prakteknya, mungkin akan ditemui sejumlah kendala. Kompos yang diharapkan menjadi pupuk alami malah berbau tidak sedap, terlalu basah, atau tidak kunjung jadi. Hal ini menunjukkan bahwa membuat kompos itu mudah namun membutuhkan pemahaman agar prosesnya berhasil.
Dilansir dari Waste4change, salah satu ciri paling umum dari kompos yang gagal adalah munculnya bau menyengat. Aroma busuk seperti got atau makanan basi menandakan bahwa proses penguraian kekurangan oksigen. Situasi ini biasanya terjadi ketika tumpukan kompos terlalu padat, jarang diaduk, atau memiliki kadar air yang berlebihan.
Selain bau, kompos yang bermasalah juga sering memiliki tekstur terlalu basah, menggumpal, atau tidak terurainya sampah. Kondisi ini umumnya disebabkan oleh tidak seimbangnya rasio antara bahan organik basah dan bahan kering. Ketidakseimbangan ini membuat sirkulasi udara di dalam tumpukan kompos menjadi terganggu, sehingga proses penguraian berjalan lambat dan tidak optimal.
Masalah lain yang kerap muncul adalah kompos yang tidak kunjung jadi meskipun sudah disimpan cukup lama. Sisa daun, kulit buah, atau bahan organik lainnya masih tampak jelas dan sulit terurai. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti rasio karbon dan nitrogen yang tidak seimbang, ukuran bahan yang terlalu besar, atau volume kompos yang terlalu kecil sehingga tidak mampu menghasilkan dan mempertahankan panas yang dibutuhkan oleh mikroorganisme.
Faktor penyebab kegagalan kompos juga sering berasal dari kesalahan dalam pemilihan bahan. Masih banyak yang mencampurkan sisa daging, produk susu, atau makanan berminyak ke dalam kompos rumahan. Padahal, bahan-bahan tersebut sulit terurai dan berpotensi mengundang hewan serta menimbulkan bau. Selain itu, jarang membalik atau mengaduk kompos, membuat udara sulit masuk ke dalam tumpukan dan memperparah kondisi penguraian.
Meski demikian, kompos yang gagal bukan berarti harus dibuang. Kondisi ini masih dapat diperbaiki dengan langkah sederhana. Jika kompos terlalu basah dan berbau, penambahan bahan kering seperti daun kering, jerami, serbuk gergaji, atau potongan kardus dapat membantu menyerap kelebihan air sekaligus memperbaiki keseimbangan bahan. Tumpukan kompos juga perlu diaduk atau dibalik secara berkala agar sirkulasi udara kembali lancar.
Apabila kompos terlalu kering dan tidak menunjukkan tanda-tanda penguraian, penambahan cairan EM4 secukupnya dapat dilakukan. Memotong bahan organik menjadi ukuran lebih kecil sebelum dimasukkan ke dalam kompos juga dapat mempercepat proses penguraian karena mikroorganisme lebih mudah bekerja.
Pada akhirnya, keberhasilan pengomposan sangat bergantung pada keseimbangan antara bahan, udara, dan kelembapan. Kompos yang matang akan berwarna gelap, bertekstur remah, dan beraroma tanah segar. Dengan memahami ciri-ciri kompos yang gagal serta cara mengatasinya, masyarakat dapat lebih siap mengelola sampah organik secara mandiri. (*)

