Kontribusi Pariwisata terhadap Budaya Hindu Bali Dinilai Belum Berimbang

DENPASAR, BALINEWS.ID — Pariwisata Bali yang selama ini bertumpu pada kekuatan budaya dan keyakinan Hindu dinilai belum sepenuhnya memberikan kontribusi sepadan terhadap keberlanjutan pelaksanaan upacara adat dan atraksi budaya yang menjadi daya tarik utama Pulau Dewata. Penilaian tersebut mengemuka dalam diskusi mengenai hubungan pariwisata dan pelestarian budaya Hindu di Bali.

Ketua Yayasan Jaringan Hindu Nusantara, Wayan Kanta Adnyana, SH, menegaskan bahwa hingga kini sebagian besar pembiayaan pelaksanaan upacara keagamaan, yadnya, dan kegiatan adat masih ditanggung oleh masyarakat desa adat secara swadaya. Dana diperoleh melalui iuran krama desa, gotong royong (ayahan), serta pengorbanan pribadi warga.

“Selama saya hidup dan tinggal di desa adat, pelaksanaan upacara di pura, perawatan sarana keagamaan, hingga hari raya Hindu sepenuhnya dibiayai oleh masyarakat adat. Pariwisata belum memberi kontribusi langsung yang signifikan terhadap pembiayaan tersebut,” ujarnya.

BACA JUGA :  Festival yang Digelar di Bali Pada Bulan September 2025 Berdasarkan Kalender PHRI

Ia mengakui, pariwisata memang memberikan dampak ekonomi tidak langsung melalui penciptaan lapangan kerja dan peluang usaha. Namun demikian, banyak atraksi budaya yang dinikmati wisatawan sesungguhnya berasal dari tradisi sakral yang dijaga dan dibiayai oleh masyarakat adat, bukan diciptakan oleh industri pariwisata.

Menurutnya, tantangan ke depan adalah membangun model pariwisata yang lebih adil dan berkelanjutan, di mana desa adat dan lembaga keagamaan tidak hanya menjadi objek, tetapi juga subjek yang memperoleh manfaat nyata. “Pariwisata seharusnya tidak hanya menikmati budaya, tetapi ikut bertanggung jawab menjaga kesucian, nilai, dan keberlanjutannya,” tegasnya.

Terkait kebijakan pungutan wisatawan sebesar Rp150.000 sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur Bali, Wayan Kanta menilai kebijakan tersebut pada prinsipnya tepat, asalkan dijalankan secara transparan dan berpihak pada masyarakat adat. Pasalnya, budaya dan keyakinan Hindu merupakan fondasi utama daya tarik pariwisata Bali.

BACA JUGA :  AirAsia Buka Rute Langsung Adelaide–Bali, Perkuat Akses Wisatawan Australia ke Indonesia

Ia menekankan, kunci keberhasilan kebijakan tersebut bukan pada besaran pungutan, melainkan pada mekanisme pengelolaannya. Dana pungutan idealnya dialokasikan secara nyata untuk pelestarian budaya dan keyakinan Hindu, disalurkan hingga ke desa adat, dikelola secara transparan, serta digunakan untuk menjaga kesucian atraksi budaya agar tidak semata menjadi tontonan komersial.

“Jika dana pungutan benar-benar kembali ke desa adat dan mendukung pelaksanaan yadnya, seni sakral, serta pendidikan budaya bagi generasi muda, maka ini bisa menjadi bentuk keadilan budaya,” ujarnya.

Sementara itu, akademisi Dewa Usadha menambahkan bahwa budaya dan kearifan lokal berlandaskan keyakinan Hindu merupakan faktor utama yang sejak awal menarik wisatawan datang ke Bali. Melihat potensi tersebut, para pemodal kemudian menanamkan investasi di sektor pariwisata, diikuti pembangunan infrastruktur oleh pemerintah.

Ia memaparkan, pembangunan kawasan pariwisata seperti Bali Tourism Development Corporation (BTDC) yang kini menjadi ITDC, perluasan Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, serta berbagai proyek infrastruktur jalan dan tol telah mendorong pesatnya aktivitas pariwisata Bali. Namun, di sisi lain, Bali kini menghadapi beban berat akibat tingginya intensitas pariwisata.

BACA JUGA :  ASITA Bali Gelar Love Bali Table Top, Perkuat Sinergi Pariwisata Berkelanjutan

“Kontribusi pariwisata terhadap pelaku budaya dan pelestarian kearifan lokal masih relatif kecil. Mau tidak mau, masyarakat tetap melestarikan budayanya secara swadaya, karena budaya itu adalah warisan leluhur yang wajib dijalankan, terlepas dari maju atau tidaknya pariwisata,” kata Dewa Usadha.

Ia menegaskan, kemajuan pariwisata Bali harus diiringi kontribusi yang jelas terhadap pelestarian budaya, termasuk melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari para pelaku usaha pariwisata.

“Pariwisata Bali akan berkelanjutan jika berjalan selaras dengan filosofi Tri Hita Karana, yakni harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Tanpa itu, keseimbangan antara pariwisata dan budaya akan sulit terwujud,” pungkasnya. (*)

Tag

Catatan: Jika Anda memiliki informasi tambahan, klarifikasi, atau menemukan kesalahan dalam artikel ini, jangan ragu untuk menghubungi kami melalui email atau melalui kontak di situs kami.

guest
0 Comments
Newest
Oldest
Inline Feedbacks
View all comments

Breaking News

Informasi Lowongan Pekerjaan Terbaru Hari Ini

Baca Lainnya

BADUNG, BALINEWS.ID – Kecelakaan tunggal kembali terjadi di jalur rawan Tanjakan Pura Goa Gong, Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan....
DENPASAR, BALINEWS.ID – Citra Bali sebagai destinasi wisata dunia kembali diuji. Sepanjang 2025, pulau ini masih menjadi sasaran...
DENPASAR, BALINEWS.ID – Ratusan truk sampah swakelola mengepung Kantor Gubernur Bali, Selasa (23/12/2025), menandai eskalasi krisis pengelolaan sampah...
NUSA PENIDA, BALINEWS.ID — Kepolisian Sektor (Polsek) Nusa Penida mengintensifkan langkah pengamanan menjelang perayaan Natal 2025 dan Tahun...