GIANYAR, BALINEWS.ID – Anggota DPD RI, Ni Luh Ary Pertami Djelantik atau yang akrab disapa Ni Luh Djelantik, memberikan tanggapan keras atas pernyataan Anggota DPRD Gianyar, Ngakan Putra, yang menilai dirinya berbicara tanpa data terkait kondisi infrastruktur di Gianyar. Ni Luh menegaskan bahwa kritik yang ia sampaikan justru berangkat dari realita yang dialami masyarakat sehari-hari.
“Pak, turun sebentar dari mobil dinas bapak. Silakan berjalan kaki di seluruh Kabupaten Gianyar atau minimal di dapil bapak. Lihat dan rasakan sensasi jalan meukir benyah latig, trotoar rusak, dan lampu penerangan nyaris tidak ada. Baca berita pak, berapa sudah terjadi kecelakaan di Gianyar akibat kondisi jalan rusak,” ujarnya.
Ni Luh menekankan, kritik yang ia lontarkan bukanlah serangan personal melainkan bentuk kepedulian kepada masyarakat. Ia mengingatkan bahwa seorang pejabat publik seharusnya bersyukur bila ada pihak yang mengingatkan. “Bos bapak adalah rakyat. Harusnya bapak bersyukur karena saya membantu mengingatkan bapak bupati, yang saya yakin beliau paham maksud dan tujuan kritik saya,” tegasnya.
Ia juga memastikan timnya tengah menyiapkan data yang diperlukan untuk memperkuat pernyataannya. “Ratusan berita terkait kondisi infrastruktur di Gianyar tersedia. Sebagai wakil rakyat yang digaji oleh rakyat, kami selaku anggota Komite II DPD RI punya hak penuh dalam mengawasi kerja-kerja pejabat di daerah, di seluruh Bali bukan hanya di Gianyar,” kata Ni Luh.
Menutup pernyataannya, Ni Luh menyinggung soal transparansi dan tanggung jawab legislatif dalam setiap pengambilan keputusan. “Niluh Djelantik cawe-cawe adalah 100 persen untuk kepentingan masyarakat Bali. Kalau bapak ada cawe-cawe nggak? Cawe-cawe untuk kepentingan siapa pak? Bisa jawab? Berkenan kalau diaudit? Jabatan hanya sementara. Bapak punya akses langsung kepada pemegang anggaran. Bisa sebutkan perda apa saja yang sudah disahkan dan bagaimana transparansi pelaksanaannya?” tandasnya.
Ini merupakan serangan politik klasik yang saling menyerang satu sama lain. Barangkali pola penghinaan verbal dan pengecilan ini bermula dari kejatuhan Sukarno oleh Jenderal utamanya yang kemudian menjadi presiden. Begitu pihak asing tiba, ia menciptakan kekacauan. Dalam kasus ini, kepadatan penduduk, berkurangnya kedamaian dan ketenangan, serta yang terpenting, memicu konflik-konflik kecil yang menghasilkan partai-partai politik yang berupaya saling menghancurkan.