DENPASAR, BALINEWS.ID – Mantan Ketua Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Intaran, Sanur Kauh, I Wayan Mudana, akhirnya divonis 5,5 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Selasa (24/6). Vonis ini lebih ringan dua tahun dari tuntutan jaksa, yang sebelumnya menuntutnya tujuh tahun enam bulan penjara.
Majelis hakim yang diketuai Putu Ayu Sudariasih menyatakan Mudana terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Ia dinilai telah menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri, termasuk menggunakan dana LPD untuk membeli tanah di Takmung, Klungkung dan membayar utang pribadi di Koperasi Citra Mandiri.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa berupa penjara selama lima tahun enam bulan, serta denda Rp 300 juta. Jika denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan tiga bulan,” tegas hakim dalam amar putusannya.
Tak hanya itu, Mudana juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 1,6 miliar. Jika dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap ia tidak membayar, jaksa berhak menyita dan melelang hartanya. Bila hartanya tidak mencukupi, ia akan menjalani tambahan pidana tiga bulan penjara.
Dalam proses hukum, Mudana telah mengembalikan uang senilai Rp 200 juta. Uang tersebut disita negara dan disetorkan ke Kas LPD Intaran sebagai pengurang kerugian.
Hakim menyebut tindakan Mudana sangat merugikan keuangan negara dan menciderai kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan desa. Namun demikian, sikap kooperatif terdakwa selama persidangan, permintaan maaf, dan belum pernah dihukum menjadi pertimbangan meringankan.
Di ruang sidang, Mudana menyatakan menerima putusan tersebut. Sementara Jaksa Penuntut Umum menyatakan pikir-pikir dan akan menyampaikan sikap dalam waktu tujuh hari ke depan.
Dalam fakta persidangan, Mudana terbukti membuat kebijakan sepihak, termasuk mencairkan kredit atas nama pribadi tanpa persetujuan prajuru adat dan pengawas LPD. Ia juga memanfaatkan celah aturan karena LPD Intaran belum memiliki awig-awig atau SOP terkait pengelolaan Agunan Yang Diambil Alih (AYDA).
Lebih parahnya lagi, Mudana memaksa stafnya, termasuk Kepala Bagian Kredit I Ketut Mertayasa, untuk menandatangani dokumen kredit fiktif. Bila tak dituruti, ia tak segan mengamuk di kantor.
Kini, mantan pemegang kendali keuangan desa itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di balik jeruji besi. Kasus ini menjadi pengingat pentingnya transparansi dan pengawasan ketat dalam pengelolaan lembaga keuangan berbasis adat. (*)