Libur Idulfitri, Belajar dari Denpasar yang Sepi

Share:

Kota Denpasar tampak lengang saat hari raya Idulfitri. (Foto: Angga Wijaya)
Kota Denpasar tampak lengang saat hari raya Idulfitri. (Foto: Angga Wijaya)

BALINEWS.ID – Hari Raya Idulfitri, Denpasar tampak sepi karena banyak warga perantau yang mudik. Lapak-lapak dagangan, rombong, dan kios-kios yang disewa dari warga lokal pun tutup. Beberapa di antaranya bahkan menempelkan tulisan “libur mudik” beserta keterangan waktu buka dan tutup kembali.

Kondisi serupa juga terlihat di sebagian wilayah Badung. Dua wilayah yang biasanya ramai ini kini mulai bergerak menuju kota dan kabupaten metropolitan. Seperti halnya Jakarta, jalan-jalan di Denpasar pun sepi ketika libur Idulfitri tiba. Hanya kendaraan roda dua dan empat dengan plat nomor Bali yang masih terlihat. Sisanya, kota tampak lengang.

Biasanya, setelah dua hingga tiga minggu, warga perantau kembali datang untuk memulai bekerja dan mencari penghidupan. Kota pun kembali semarak dan roda ekonomi berputar lagi.

Krama Tamiu

Selama itu pula, saya dan warga yang tidak mudik kesulitan mencari pedagang makanan yang biasa dijalankan oleh warga perantau. Artinya, “krama tamiu”—begitu orang Bali menyebut warga perantau—memiliki peran penting. Mereka adalah pelaku usaha yang turut mendongkrak pertumbuhan ekonomi Bali. Bank Indonesia mencatat bahwa sebelum pandemi COVID-19, Denpasar adalah kota dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua di Indonesia, setelah DKI Jakarta.

BACA JUGA :  KMHDI se-Bali Kecam Tindakan Represif Polisi terhadap Aksi Bela Petani Singkong di Lampung

Wajar jika kini banyak yang membicarakan soal upah pekerja di Bali yang terbilang rendah. Banyak perusahaan bahkan menggaji karyawan di bawah UMK. Hal ini tentu perlu diperjuangkan oleh para politisi Bali. Beberapa juga berpendapat bahwa upah pekerja di Bali harus setara dengan DKI Jakarta, mengingat biaya hidup yang tinggi di Bali, termasuk biaya upacara adat.

Sebagai kota metropolitan yang akan berkembang dalam sepuluh hingga dua puluh tahun mendatang, Bali tentu akan menghadapi banyak persoalan. Oleh karena itu, penting untuk merancang grand design pembangunan Bali dalam jangka panjang. Mungkin sudah ada, namun saya dan Anda belum banyak tahu tentang hal itu.

Yang jelas, sepinya kota saat libur Idulfitri memberi pelajaran bahwa Bali tidak bisa berdiri sendiri tanpa warga perantau. Simbiosis mutualisme antara warga lokal dan pendatang adalah sebuah fakta yang perlu dijaga, bukan malah diabaikan dengan isu atau pandangan primordial yang bisa merusak persatuan dan semangat keberagaman yang sudah lama tumbuh di Bali.

Kuliner Bali

Liburnya para pedagang makanan saat libur panjang Idulfitri membuat warung kuliner Bali lebih ramai dari biasanya. Menu seperti nasi campur Bali, babi guling, tipat cantok, dan nasi bubuh menjadi pilihan utama, menggantikan menu nasi goreng, sate ayam dan kambing, ikan lele, atau ayam lalapan yang biasanya mudah ditemui di Denpasar.

BACA JUGA :  Hari Kartini: Mengenang Perjuangan Emansipasi dan Semangat Perempuan Indonesia

Olahan ayam francaise lokal di gerai ACK dan JFC menjadi alternatif saat sulit mencari tempat makan yang buka. Memasak sendiri bisa jadi solusi di situasi seperti ini, namun apa daya, pasar-pasar juga sepi—hanya pedagang asal Bali yang masih berjualan, itu pun dengan stok bahan yang terbatas. Suplai sayur-mayur dan daging tampaknya lebih banyak datang dari luar Denpasar, bahkan dari kota-kota di Jawa Timur.

Begitulah situasi di Denpasar saat libur panjang Idulfitri. Jadi, jangan pernah menganggap remeh kehadiran warga perantau. Kita sangat bergantung pada mereka. Sebaliknya, Bali menjadi tempat yang menjanjikan untuk mencari rezeki. Apa yang belum atau tidak bisa dikerjakan oleh warga lokal, dikerjakan oleh warga perantau. Semua mendapat bagian rezekinya masing-masing. Kita saling membutuhkan.

Perlindungan Ekonomi

Dari hal ini, kesempatan bagi warga Bali untuk ikut berjualan seperti warga perantau sebenarnya terbuka lebar. Namun, perbedaan kultur dan berbagai faktor lain membuat mereka tidak setangguh warga perantau dalam membuka usaha. Kembali ke sawah dan ladang untuk menjadi petani tidak semudah yang dikatakan orang atau para pakar tentang Bali. Banyak tanah yang telah dijual untuk dijadikan akomodasi pariwisata. Tidak jarang warga lokal malah bekerja di vila atau hotel yang dulunya merupakan tanah miliknya—sebuah ironi yang menyakitkan. Namun, itulah kenyataannya di Bali.

BACA JUGA :  Berawal Dari Saling Ejek, Pria di Tabanan Lukai Kerabat Pakai Pisau Lipat

Orang Bali tidak hanya membutuhkan perlindungan budaya, seperti yang disuarakan oleh seorang budayawan Bali dalam menanggapi kasus “intoleransi” saat Nyepi lalu di Buleleng. Lebih dari itu, saya melihat orang Bali justru membutuhkan perlindungan ekonomi sebagai pelaku budaya yang telah menjadi branding pariwisata Bali sejak beberapa tahun terakhir: pariwisata budaya. Biaya upacara yang tidak sedikit tentu bisa diatasi dengan meningkatkan upah pekerja di seluruh Bali. Sayangnya, belum banyak yang memperjuangkan hal ini—masih sebatas diskusi hangat di media sosial atau konten politikus untuk menaikkan pamor dan elektabilitas mereka.

Sekian dulu dari saya, nanti akan disambung lagi. Salam.

Oleh: I Ketut Angga Wijaya
(Tulisan ini pertama kali dimuat di Tatkala.co, 23 April 2023. Penulis adalah seorang penyair, esais, dan jurnalis yang berdomisili di Denpasar-Bali)

 

Catatan: Jika Anda memiliki informasi tambahan, klarifikasi, atau menemukan kesalahan dalam artikel ini, jangan ragu untuk menghubungi kami melalui email atau melalui kontak di situs kami.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Lainnya

DENPASAR, BALINEWS.ID – Calon Ketua Umum (Ketum) Asprov PSSI Bali, Anak Agung Ngurah Garga Chandra Gupta yang akrab...

KLUNGKUNG, BALINEWS.ID – Di tengah geliat pariwisata Pulau Nusa Lembongan, menyisakan cerita duka. Seorang perempuan paruh baya inisial...

DENPASAR, Balinews.id – Kasus dugaan penipuan terhadap sejumlah calon tenaga kerja asal Bali yang gagal diberangkatkan ke luar...

KLUNGKUNG, BALINEWS.ID – Suasana di Tempat Pengolahan Sampah Reduce Reuse Recycle (TPS3R) Desa Gelgel, Klungkung, mendadak mencekam pada...

Breaking News

Berita Terbaru
PON
Bir
PMI
DIY
SBY
BCL
Art
SMP
PAW
IKN
PHK
NIK
USG
Pil
ATM
atv
DPR
AHY
kos
PSN
IU
PKB
ASN
KPK
BNN
PAD
TKP
KAI
SEO
BSN
Tas
lpd
5km
Run
Sar
UKT
tni
bkk
PLN
api
KTP
KEK
MoU
Kue
WNA
PMK
BPS