DENPASAR, BALINEWS.ID — Pariwisata masih menjadi sektor jasa penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia, bersanding dengan ekspor hasil tambang, hasil hutan, hingga kerajinan tangan. Dibanding sektor lain, pariwisata dinilai lebih transparan dalam kontribusinya terhadap pendapatan negara, sehingga banyak negara terus berlomba menarik wisatawan mancanegara.
Bali sebagai destinasi wisata kelas dunia tetap menjadi magnet utama bagi wisatawan internasional. Dukungan pelayanan berkualitas dan fasilitas berstandar global membuat pulau ini kerap menjadi lokasi penyelenggaraan berbagai agenda internasional, mulai dari konferensi ekonomi hingga festival budaya.
Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mahendradatta, Dewa Usadha, menyatakan bahwa kemajuan sektor pariwisata merupakan impian banyak daerah karena mampu menggerakkan ekonomi dan mendorong pembangunan. “Pembangunan akan terlihat, baik ekonomi maupun infrastruktur, dan itu berdampak pada peningkatan pendapatan per kapita masyarakat,” ujarnya.
Kunjungan Wisata Meningkat, Ekonomi Menggeliat
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali menunjukkan jumlah wisatawan mancanegara yang datang sejak Januari hingga Oktober 2024 mencapai 5,3 juta orang, sementara wisatawan domestik menembus 10,5 juta kunjungan. Angka tersebut menandai pulihnya sektor pariwisata pascapandemi dan mengonfirmasi masih kuatnya daya tarik Bali di mata dunia.
Di Balik Angka Tinggi, Muncul Segudang Masalah Sosial
Meski demikian, pesatnya pariwisata juga membawa tantangan sosial yang makin kompleks. Dewa Usadha mengingatkan bahwa pertumbuhan yang tidak terkendali dapat memicu menurunnya kualitas kenyamanan wisatawan maupun masyarakat lokal.
Menurutnya, Bali kini menghadapi berbagai persoalan sosial, mulai dari pengemis, pedagang liar, pencopetan, penipuan, perkelahian, kemacetan, hingga persoalan sampah. Kondisi ini diperburuk oleh meningkatnya wisatawan berbudget rendah dan perilaku tidak tertib.
“Banyak wisatawan yang datang dengan bekal terbatas. Ketika kehabisan uang, sebagian justru menimbulkan masalah—termasuk potensi masuknya jaringan mafia internasional dan narkoba,” jelasnya.
Arus urbanisasi atau duktang yang masuk ke Bali juga memicu persoalan baru. Menurut Dewa Usadha, masuknya penduduk urban tanpa kendali menyebabkan dampak turunan berupa kepadatan penduduk, peningkatan kriminalitas, kemacetan, hingga penumpukan sampah. Kawasan wisata yang dahulu eksklusif kini bercampur dengan aktivitas lain sehingga menggerus citra Bali sebagai destinasi premium.
Ketiadaan Aturan Pengendalian Duktang Dinilai sebagai Kelemahan Pemda
Dewa Usadha menilai salah satu kegagalan pemerintah daerah adalah belum adanya regulasi komprehensif untuk mengendalikan arus penduduk pendatang. “Belum ada aturan khusus yang mengatur duktang. Seandainya Bali menjadi daerah khusus, maka pemerintah kabupaten maupun provinsi dapat menetapkan aturan tersendiri, termasuk klasifikasi pendatang maupun wisatawan,” ujarnya.
Ia menilai, tanpa pengendalian tersebut, tekanan terhadap infrastruktur dan lingkungan akan semakin besar, dan kenyamanan wisatawan—terutama wisatawan premium—akan terus menurun.
Pengembangan Pariwisata Perlu Dikawal Ketat
Dewa Usadha menegaskan bahwa pengembangan pariwisata Bali tidak boleh hanya fokus pada peningkatan jumlah wisatawan. Lebih penting adalah menjaga kualitas wisatawan, kelestarian lingkungan, dan ketertiban sosial.
“Pembangunan infrastruktur harus dibarengi pengendalian urbanisasi dan penataan penduduk pendatang. Pariwisata bukan hanya untuk Bali, tetapi juga menjadi perhatian nasional karena sektor ini tetap menjadi penyumbang utama devisa,” tegasnya.
Ia berharap pemerintah pusat dan daerah segera mengevaluasi strategi pariwisata Bali agar ekonomi, lingkungan, dan kenyamanan wisatawan tetap terjaga secara seimbang. (*)

