BALINEWS.ID – SMPB (Seleksi Masuk Peserta Didik Baru) kini bukan hanya jadi urusan administrasi, tapi telah merambah ke dalam ruang-ruang pribadi keluarga. Salah satunya dialami Made Jantreg, seorang ayah asal Denpasar, yang datang ke Jnana Marga dengan wajah letih dan suara tertahan. Ia mengaku tak kuat lagi memendam tekanan akibat belum adanya kepastian anaknya diterima di sekolah negeri.
“Saya datang ke sini bukan karena sakit fisik, tapi batin saya makin keropos,” ujarnya lirih.
“Jangankan disentuh, melihat istri saja saya takut. Rasanya tidak pantas tersenyum saat anak belum jelas masa depannya,” tambahnya.
Made mengaku hubungan rumah tangganya ikut terganggu. Gairah menurun, semangat hidup menguap, dan tubuh seperti kehilangan tenaga.
“Saya merasa gagal sebagai suami dan ayah. Di luar saya harus tenang, tapi di dalam hati saya bergetar setiap malam,” lanjutnya.
Kedatangannya ke Jnana Marga bukan untuk mencari jalan pintas, tapi sekadar ingin menumpahkan beban. Karena bagi sebagian orang tua, tekanan dari sistem pendidikan seperti SMPB bisa menjelma jadi luka psikis yang tak terlihat, namun terasa nyata dalam tubuh dan relasi keluarga.
Fenomena ini menunjukkan bahwa SMPB yang semestinya membuka masa depan anak, justru bisa menutup ruang kebahagiaan rumah tangga. Ketika seleksi membuat orang tua terombang-ambing tanpa kepastian, dampaknya menjalar hingga ke ranjang, tempat di mana seharusnya ada kehangatan, bukan kekosongan.
Sudah waktunya sistem pendidikan memikirkan bukan hanya angka, tapi juga dampaknya pada jiwa-jiwa di balik data: para orang tua yang diam-diam menahan sesak, demi masa depan anak-anak mereka. (*)