DENPASAR, BALINEWS.ID – Truk-truk sampah swakelola mengepung Kantor Gubernur Bali, Selasa (23/12/2025), menandai eskalasi krisis pengelolaan sampah di Pulau Dewata. Kegiatan tersebut bukan sekadar aksi damai, melainkan sinyal keras bahwa kebijakan penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung dinilai tidak disiapkan secara matang dan berpotensi memicu darurat sampah.
Forum Swakelola Sampah Bali menilai pemerintah daerah belum memberikan kepastian resmi terkait status TPA Suwung. Informasi penundaan penutupan hingga 28 Februari 2026 yang beredar dinilai masih abu-abu dan tanpa landasan kebijakan tertulis yang jelas. Ketidakpastian ini membuat para pengelola sampah swakelola berada dalam posisi serba sulit, sementara volume sampah harian terus meningkat.
Ketua Forum Swakelola Sampah Bali, I Wayan Suarta, menegaskan tuntutan mereka terkait pembukaan TPA Suwung secara permanen hingga solusi nyata benar-benar siap. Menurutnya, proyek Pengelolaan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) yang digadang-gadang sebagai solusi jangka panjang masih membutuhkan waktu setidaknya dua tahun, sementara krisis sampah terjadi setiap hari.
“Kalau hanya ditunda dua bulan, lalu Maret ditutup permanen, itu sama saja memindahkan masalah. Sampah tidak berhenti diproduksi, tapi tempat pembuangan justru ditutup,” ujar Suarta di sela aksi.
“Saya rasa 2 bulan untuk mencari solusi itu tidak mungkin, apa yang pemerintah daerah bisa lakukan dalam 2 bulan,” tambahnya.

Aksi tersebut juga membuka persoalan klasik yang selama ini luput dari perhatian serius pemerintah, mulai dari buruknya akses jalan menuju TPA, carut-marutnya pengaturan keluar masuk armada sampah, hingga beban biaya operasional yang selama ini banyak ditanggung pihak swakelola. Forum menilai kondisi ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang secara tegas mewajibkan pemerintah pusat dan daerah menjamin sistem pengelolaan sampah yang layak, termasuk pembiayaannya melalui APBN dan APBD.
“Akses jalannya rusak disana, apakah tidak ada niat pemerintah untuk memperbaiki itu semua? Itu sampai ngantre diluar batas jalan Serangan. Kita takutnya nanti terjadi kecelakaan atau perkelahian. Itu sudah sering terjadi disitu, apakah kita harus menunggu adanya pertumpahan darah?” tegasnya.
Wayan Suarta juga menyoroti maraknya aksi salip menyalip antara sopir truk sampah padahal disana sudah ada kesepakatan.
“Jadi sampah-sampah milik pemerintah maupun truk-truk hibah itu nyelonong padahal kita sudah ada kesepakatan, dan kita semua sampai menginap-nginap untuk ngantre” ujarnya.
Dalam tuntutannya, Forum Swakelola Sampah Bali meminta pemerintah tidak sekadar mengeluarkan kebijakan simbolik, tetapi menghadirkan solusi konkret dan terukur. Mereka juga memperingatkan bahwa jika aspirasi ini kembali diabaikan, aksi lanjutan dengan membawa truk bermuatan sampah ke Kantor Gubernur dan DPRD Bali akan dilakukan.
Situasi ini menjadi ironi di tengah citra Bali sebagai destinasi pariwisata dunia. Ketika promosi pariwisata terus digencarkan, persoalan mendasar seperti pengelolaan sampah justru belum memiliki peta jalan yang jelas. Tanpa keputusan tegas dan kesiapan infrastruktur, penutupan TPA Suwung dikhawatirkan hanya akan memperparah persoalan lingkungan dan mencoreng wajah pariwisata Bali yang berbudaya. (*)

