DENPASAR, BALINEWS.ID – Polda Bali membongkar praktik tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus rekrutmen anak buah kapal (ABK) di KM Awindo 2A. Sebanyak 21 calon ABK yang mayoritas masih berusia muda berhasil dievakuasi dari kapal penangkap cumi yang bersandar di Pelabuhan Benoa, Denpasar.
Kabid Humas Polda Bali, Kombes Ariasandy, mengungkapkan para korban direkrut dari berbagai daerah di Jawa, mulai Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jabodetabek, hingga Banten. Mereka dijanjikan pekerjaan layak dengan gaji besar dan tanpa biaya perekrutan.
“Faktanya, mereka justru ditipu, dipaksa bekerja dalam kondisi tidak manusiawi, bahkan terancam keselamatannya,” jelas Ariasandy, Jumat (5/9).
Para korban direkrut lewat media sosial dengan iming-iming bekerja di perusahaan pengolahan ikan di Jakarta, Surabaya, atau Pekalongan. Mereka dijanjikan gaji Rp3,4 juta per bulan serta uang muka Rp6 juta.
Namun, hanya sekitar Rp2,5 juta yang diterima karena dipotong biaya calo dan sponsor. Setelah dikumpulkan di Pekalongan, mereka dibawa ke Bali dan ditempatkan di KM Awindo 2A yang diketahui beroperasi di perairan Papua dan Laut Arafura. Identitas pemilik kapal kini tengah ditelusuri penyidik.
Kasus ini mulai terungkap pada 29 Juli lalu, setelah salah satu ABK melapor dan meminta evakuasi ke Basarnas. Tim Subdit IV Ditreskrimum Polda Bali kemudian melakukan penyelidikan dan audiensi menggunakan formulir testimoni program Rise & Speak dari Bareskrim Polri. Hasilnya, para korban mengaku mengalami jeratan utang, pemotongan upah, hingga ancaman kekerasan.
“Sebagian besar korban merasa ditipu, ingin pulang, dan takut dicelakai bila kapal kembali berlayar,” tambah Ariasandy.
Setibanya di Gedung RPK Polda Bali, para korban yang berusia 18–23 tahun menceritakan kondisi kerja memprihatinkan, identitas dan ponsel disita, tanpa kontrak kerja, tanpa jaminan keselamatan, diberi makan hanya mie instan enam bungkus untuk 21 orang sehingga tiap orang hanya mendapat dua sendok, air minum diambil dari tangki penyimpanan kapal, hingga harus hidup dalam gelap tanpa penerangan.
“Kasus ini merupakan extraordinary crime, kejahatan luar biasa terhadap rasa kemanusiaan. Penyidik akan menuntaskan secara objektif untuk memberikan rasa keadilan bagi korban,” tegas Ariasandy.
Saat ini, para ABK sudah diserahkan ke Direktorat Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, pada Selasa (2/9). Mereka telah dipulangkan ke daerah asal masing-masing dan mendapat perlindungan hingga pelaku utama ditangkap. (*)