DENPASAR, BALINEWS.ID – Meski dihadapkan tuntutan penjara tujuh setengah tahun, I Wayan Mudana, mantan Ketua Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Intaran, Sanur, masih sempat melempar senyum saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Denpasar, Selasa (20/5).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Denpasar, Mia Fida Erliyah, menuntut Mudana dengan pidana penjara selama 7 tahun 6 bulan karena dinilai terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara hingga Rp 1,6 miliar.
“Menuntut agar majelis hakim menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan kesatu primair,” tegas JPU Mia dalam sidang yang dipimpin hakim Putu Ayu Sudariasih.
Tuntutan terhadap Mudana tak main-main. Selain hukuman penjara, pria 59 tahun yang menjabat sebagai Ketua LPD dari tahun 2009 hingga 2022 itu juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan, serta uang pengganti senilai Rp 1,6 miliar.
Apabila uang pengganti itu tidak dibayar dalam waktu satu bulan setelah putusan inkrah, maka harta benda Mudana akan disita dan dilelang. Bila harta tidak mencukupi, hukumannya bisa bertambah dengan penjara selama 3 tahun 6 bulan.
Jaksa menilai tindakan Mudana tidak mendukung upaya pemerintah dalam memberantas korupsi, serta secara langsung merugikan keuangan negara dan desa adat. Namun, ada sejumlah hal yang meringankan, di antaranya Mudana mengakui perbuatannya, belum pernah dihukum, bersikap sopan di persidangan, dan telah mengembalikan sebagian kerugian negara sebesar Rp 200 juta.
Usai mendengarkan tuntutan, Mudana tampak tenang dan bahkan tersenyum. Agenda sidang selanjutnya adalah pembacaan nota pembelaan (pledoi) oleh kuasa hukumnya pada 27 Mei mendatang.
Diduga Gunakan Dana LPD untuk Kepentingan Pribadi
Dalam dakwaan, Mudana disebut menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Ia mengajukan kredit atas nama sendiri untuk mengambil alih agunan milik nasabah bermasalah, tanpa persetujuan prajuru adat dan pengawas LPD.
Ia juga memanfaatkan celah tidak adanya aturan tertulis (awig-awig) dan SOP terkait pengelolaan Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) di LPD Intaran. Proses analisis kredit pun diabaikan. Bahkan, Mudana diduga memaksa Kepala Bagian Kredit, I Ketut Mertayasa, untuk menandatangani dokumen tanpa prosedur yang sah. Jika ditolak, Mudana marah-marah.
Uang dari kredit yang diajukan atas namanya itu kemudian digunakan untuk berbagai keperluan pribadi, mulai dari pembelian tanah di Takmung, Klungkung, hingga melunasi utang di Koperasi Citra Mandiri. (*)