KLUNGKUNG, BALINEWS.ID – Kebijakan Kementerian Keuangan yang memindahkan dana sebesar Rp200 triliun ke sejumlah bank Himpunan Bank Negara (Himbara) menuai kekhawatiran serius dari sektor keuangan mikro, khususnya Bank Perekonomian Rakyat (BPR). Jumlah dana yang digelontorkan tersebut hampir setara dengan total aset BPR nasional yang tercatat mencapai Rp 232 triliun per Juli 2025.
Direktur PT BPR Sari Jaya Sedana, Dewa Wijaya Meranggi, menyatakan bahwa kebijakan ini berpotensi menggerus peran vital BPR sebagai penyalur kredit bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Selama ini, BPR menjadi pilihan utama bagi UMKM yang kesulitan mengakses layanan perbankan besar karena keterbatasan agunan, syarat, dan prosedur yang rumit.
“Dengan adanya tambahan likuiditas Rp 200 triliun berpotensi membuat bank-bank besar lebih agresif masuk ke segmen UMKM, yang menjadi basis utama BPR,” ujar Dewa Wijaya di Klungkung.
Ia menjelaskan, ketimpangan akses likuiditas menjadi masalah utama. Himbara akan mendapatkan dana jumbo dengan biaya murah, memungkinkan mereka menawarkan suku bunga kredit yang lebih kompetitif. Hal ini membuat BPR yang bermodal terbatas akan kesulitan bersaing.
Dewa Wijaya juga menyoroti potensi berpindahnya nasabah UMKM yang selama ini merasa lebih nyaman meminjam di BPR karena faktor kedekatan dan layanan personal. Dengan adanya dana besar, bank-bank Himbara dapat meluncurkan program pinjaman murah yang masif, menarik debitur eksisting dari BPR.
“Pemindahan dana Rp 200 triliun ke bank-bank Himbara berpotensi melemahkan daya saing BPR dalam pembiayaan UMKM,” jelasnya.
Meskipun demikian, ia masih memiliki harapan bahwa kebijakan ini bisa membawa dampak positif bagi BPR, asalkan pemerintah turut mendesain kebijakan lanjutan yang mendukung. Ada tiga skenario yang diusulkannya agar BPR tidak tersingkir.
Pertama, adanya afirmasi kebijakan berupa insentif khusus atau kolaborasi dengan Himbara sebagai mitra penyalur kredit mikro. Kedua, pemerintah mendesain skema penyaluran dana yang memberi ruang bagi BPR agar tidak tersingkir. Ketiga, BPR harus melakukan transformasi digital untuk tetap unggul dalam kedekatan layanan dengan UMKM lokal.
“Jadi, apakah kebijakan Menkeu Purbaya menguntungkan atau merugikan BPR akan sangat tergantung dari desain kebijakan lanjutan?,” ujar Dewa Wijaya penuh tanya. “Apakah Menkeu hanya fokus memperkuat bank besar dan mengurangi peran BPR, ataukah ada porsi khusus bagi BPR, untuk memastikan ekosistem keuangan mikro tetap sehat,” tutupnya.