BALINEWS.ID – Setiap enam bulan sekali dalam kalender Bali, umat Hindu merayakan Hari Raya Sugihan, sebuah peristiwa suci yang dipenuhi dengan makna tentang penyucian diri dan penghormatan terhadap leluhur.
Ritual ini tidak sekadar serangkaian upacara dan pembakaran dupa yang harum. Di baliknya, Sugihan adalah cerita tentang manusia yang berjuang untuk mempertahankan identitasnya dalam arus zaman yang terus berubah.
Sugihan terbagi menjadi Sugihan Jawa, yang jatuh pada Kamis Wage Wuku Sungsang, dan Sugihan Bali yang menyusul keesokan harinya. Meskipun disebut “Jawa” dan “Bali”, istilah ini lebih merujuk pada makna filosofis daripada geografis.
Dikutip laman Desa Menyawali, Buleleng, Sugihan Jawa dikenal fokus pada penyucian makrokosmos atau alam semesta, yang dilambangkan dengan upacara banten pengerebuan dan prayasita yang menghormati Ida Batara, leluhur, dan dewa-dewa yang bersemayam di palinggih atau pura. Dipercaya bahwa dalam sugihan ini, dewa-dewa turun untuk menerima persembahan yang disiapkan.
Di sisi lain, sugihan Bali lebih menitikberatkan pada penyucian mikrokosmos atau diri sendiri. Pendekatan ini meliputi pembersihan fisik dengan menghilangkan kotoran dunia maya melalui ritual ngererata atau mabulung, serta pembersihan rohani melalui yoga semadi untuk membersihkan suksma sarira dan antahkarana sarira. Tujuannya adalah untuk mencapai kesucian batin dengan menahan diri dari godaan indria.
Namun, di tengah arus modernisasi dan gaya hidup yang semakin cepat, makna Sugihan mulai memudar di kalangan generasi muda. Banyak dari mereka mengenal Hari Raya ini hanya sebagai bagian dari serangkaian perayaan Galungan tanpa memahami esensi sebenarnya.
Sugihan juga menjadi simbol perjuangan masyarakat Bali dalam menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan, sesuai dengan konsep Tri Hita Karana yang menjadi filosofi hidup di Pulau Dewata. (*)