BALINEWS.ID – Sebuah video yang beredar memperlihatkan perobohan candi kurung di kawasan pura kembali memantik perdebatan di jagat maya. Dalam video yang diunggah oleh akun Facebook Bali Jani, sebagian besar mempertanyakan kebijaksanaan di balik tindakan tersebut. Melalui kolom komentar, masyarakat menyuarakan kekhawatiran tentang kemungkinan bangunan-bangunan bersejarah lainnya akan mengalami nasib serupa.
“Apakah akan ada lagi gelung seperti ini yang akan jadi korban proposal? Apakah seharusnya gelung yang megah pada jamannya ini bisa di restorasi? Apakah anak cucu kita nanti masih bisa menemukan sisa-sisa bangunan seperti ini?” tulis akun tersebut.
Bangunan candi kurung yang dirobohkan tersebut bukan sekadar struktur batu dan semen. Itu adalah saksi bisu dari sejarah, budaya, dan peradaban yang pernah tumbuh di Bali. Dalam setiap ornamen dan bentuknya tersimpan cerita tentang kepahlawanan para tetua, tentang seorang pemimpin yang pernah mampu menggerakkan warganya untuk ngayah dan bergotong royong, tentang semangat jengah yang menjadi ciri khas masyarakat Bali dalam menjaga warisan leluhur.
Orang bijak sering berkata bahwa cara menghancurkan sebuah peradaban di suatu daerah adalah dengan menghancurkan peninggalan sejarah daerah tersebut. Sekarang, apakah kita mau belajar dari konsep ini? Langkah renovasi yang mengatasnamakan ‘proposal pembangunan’ patut dipertanyakan jika tidak disertai dengan kepekaan budaya dan pemahaman sejarah.
Dalam konteks Bali, bangunan seperti candi kurung tidak hanya memiliki nilai arsitektur, tetapi juga antropologis dan spiritual. Ini bukan semata benda mati, tetapi tetamian, warisan leluhur yang membawa nilai-nilai luhur dan jati diri suatu komunitas.
Ironisnya, tidak sedikit proyek renovasi pura yang justru menghilangkan keaslian struktur lama dan menggantinya dengan desain modern yang kehilangan akar budaya. Jika hal ini terus terjadi, bukan tidak mungkin anak-cucu kita kelak hanya bisa mengenal peradaban leluhur lewat foto dan cerita, bukan lewat pengalaman langsung menyentuh dan menyaksikan bangunan aslinya.
Orang bijak sering berkata: “Cara menghancurkan sebuah peradaban di suatu daerah adalah, hancurkan peninggalan sejarah daerah tersebut…”
Jika ini terus dibiarkan, maka kita sedang menyiapkan kehampaan sejarah untuk generasi mendatang.
Pertanyaannya pun bermunculan, apakah bangunan-bangunan seperti ini memang harus dirobohkan demi alasan “modernisasi” atau ada jalan tengah berupa restorasi yang mempertahankan nilai historisnya? Apakah semua pihak yang terlibat dalam pembangunan benar-benar memahami apa itu tetamian?
Renovasi seharusnya tidak menjadi alat pemutusan rantai sejarah. Proposal-proposal pembangunan yang tidak cerdas dan tidak jernih justru bisa merusak kesinambungan budaya dan memutus mata rantai peradaban.
Masyarakat Bali, yang selama ini dikenal teguh menjaga warisan budaya, sudah semestinya lebih kritis terhadap setiap perubahan yang menyangkut warisan leluhur. Modernisasi boleh berjalan, tetapi bukan dengan mengorbankan jejak sejarah. (*)