DENPASAR, BALINEWS.ID – Haris Yuliyanto, seorang pembuat film asal Semarang, terpilih untuk mengikuti program residensi internasional di Skotlandia. Keberangkatannya merupakan bagian dari program Bali-Glasgow Filmmaker and Programme Exchange 2025, sebuah kolaborasi antara Minikino Film Week, Bali International Short Film Festival, dan Glasgow Short Film Festival (GSFF).
Program ini didukung oleh hibah Connections Through Culture dari British Council, yang bertujuan untuk memperkuat hubungan budaya antara Indonesia dan Skotlandia melalui seni dan film. Summer Xia, Direktur British Council Indonesia dan Asia Tenggara, mengatakan pihaknya sangat antusias untuk terus mendukung perjalanan kreatif yang telah menghasilkan banyak proyek inspiratif dalam enam tahun terakhir. Kata dia, seni memiliki kekuatan untuk menghubungkan budaya, memulai dialog, dan mendorong perubahan yang berarti.
“Transformasi sejati dimulai dengan kesadaran dan empati—dua hal yang sangat terkandung dalam ekspresi artistik. Melalui program Connections Through Culture dari British Council, kami menyaksikan bagaimana kolaborasi seni melampaui batas, menjadikan kreativitas sebagai kekuatan yang berdaya untuk memberikan dampak positif secara global,” ujarnya.
Haris terpilih dari 143 pendaftar setelah melalui proses seleksi ketat, termasuk wawancara. Dyana Wulandari, koordinator Short Film Market Minikino, mengungkapkan bahwa pemilihan Haris tidaklah mudah karena banyaknya kandidat berkualitas.
“Saat sesi wawancara, kami benar-benar merasakan semangat mereka, begitu banyak energi positif dan harapan. Ketika semua kandidat memiliki bobot pertimbangan yang hampir setara, memilih satu dari mereka adalah hal yang sangat berat bagi kami, karena memilih satu artinya harus melepaskan semua yang lainnya,” ucap Dyana.
Haris, yang juga staf laboratorium program studi Film & Televisi di Universitas Dian Nuswantoro, mengaku antusias dengan kesempatan ini, terutama karena bertepatan dengan bulan Ramadan.
“Ini pertama kali saya ke luar negeri, kebetulan juga di bulan puasa,” kata Haris. Dengan perbedaan jam Indonesia dan Skotlandia, Haris mengaku menantikan banyak kejutan di malam-malam bulan puasanya nanti.
Sebelum keberangkatannya pada 9 Maret 2025, Haris telah mengikuti serangkaian persiapan, termasuk sesi pra-keberangkatan dan persiapan produksi film pendeknya bersama produser, Annisa Dewi.
Salah satu tujuan utama Haris adalah mengembangkan cerita filmnya selama residensi seminggu di Cove Park, Skotlandia. Ia tertarik dengan sejarah maritim Glasgow, yang sesuai dengan latar belakang keluarganya dan inspirasi filmnya.
“Situs Cove Park seluas 50 hektar menghadap ke Loch Long dengan pemandangan Argyll di pantai barat Skotlandia. Lokasi hanya berjarak sekitar satu jam dari Glasgow. Hal ini memungkinkan para seniman residensi dapat bekerja di lokasi pedesaan yang tenang serta mengakses acara dan organisasi budaya lainnya di kota terbesar Skotlandia,” kata Alexia Holt, Direktur Cove Park.
Residensi Cove Park dirancang untuk mendukung seniman lokal, nasional, dan internasional pada berbagai tahapan karir dengan beragam bentuk seni. Dalam beberapa tahun terakhir, kami beruntung karena dapat bekerja dengan seniman asal India (penerjemah Kuppuswamy Ganesan), Indonesia (seniman visual Nilam Sari), Jepang (seniman visual Nobuko Tschuiya), Korea Selatan (seniman visual Eun Cho Phil), dan Myanmar (seniman suara/digital Zwel Mun Wint).
“Pada bulan Maret 2025, kami akan menyambut para musisi Vũ Hà Anh dan Trần Uy Đức dari Vietnam dalam kolaborasi dengan Counterflows Festival. Pada bulan yang sama, kami sangat menantikan filmmaker Indonesia Haris Yuliyanto dalam kolaborasi dengan Glasgow Short Film Festival,” tambah Alexia.
Setelah residensi di Cove Park, Haris akan berpartisipasi dalam Glasgow Short Film Festival ke-18. Film pendek terbarunya, “Pelabuhan Berkabut”, juga akan diputar sebagai bagian dari program “Indonesian Spice Route”.

Selain Haris, Fransiska Prihadi, Direktur Program Minikino, juga akan hadir di GSFF sebagai juri kompetisi internasional. Fransiska, yang akrab disapa Cika, berharap dapat memperkenalkan film pendek Indonesia kepada audiens global.
Fransiska menuturkan, sebagai programmer dan juri di Glasgow Short Film Festival mendatang, dirinya melihat kesempatan seperti ini untuk memperkenalkan beragam perspektif dari film pendek Indonesia kepada audiens internasional.
“Representasi yang muncul dalam film-film di program Indonesian Spice Route tidak hanya mencerminkan kekayaan estetika dan narasi yang khas, tetapi juga menggugah diskusi tentang kondisi sosial dan politik yang tengah dihadapi. Dalam konteks ini, membicarakan kritik Indonesia Gelap menjadi relevan—bukan hanya sebagai gambaran sisi kelam dari realitas sosial, tetapi juga sebagai refleksi atas bagaimana masyarakat menghadapi ketidakpastian, tantangan struktural, dan berbagai bentuk resistensi,” jelasnya.
Karya-karya ini, tambah Fransiska, membuka ruang bagi penonton global untuk melihat Indonesia di luar eksotisme dan pariwisata, melainkan sebagai lanskap yang kompleks, penuh ketegangan, dan sarat dengan dinamika perubahan.
Matthew Lloyd, Direktur GSFF, menyambut baik kehadiran Haris dan Fransiska. “Kami gembira bisa menyelenggarakan residensi filmmaker internasional pertama kami bekerja sama dengan Minikino, British Council, dan Cove Park. Pesisir barat Skotlandia adalah lanskap yang unik dan menginspirasi, dan kami penasaran melihat bagaimana Haris meresponsnya. Kami menantikan kehadiran Haris dan Cika di festival, untuk memutar karya dan bertemu dengan filmmaker lain yang hadir, baik dari Skotlandia maupun internasional,” ujarnya.
Program pertukaran ini tidak hanya membawa Haris ke Skotlandia, tetapi juga akan membawa pembuat film Skotlandia ke Minikino Film Week di Bali pada bulan September mendatang.
Menjelang keberangkatannya, Haris mempersiapkan diri dengan belajar memasak dan membawa peralatan masak. “Saya sudah belajar masak, minimal nggak salah bumbu. Sebenarnya saya juga akan membawa panci elektrik. Seperti mau pindahan ya!” katanya sambil tertawa.
Keberangkatan Haris dan partisipasi film pendek Indonesia di Glasgow Short Film Festival 2025 menjadi bukti bahwa film pendek Indonesia makin mendapat perhatian di panggung internasional. (WIJ)