BADUNG, BALINEWS.ID – Bali kini tengah menghadapi persoalan terkait maraknya tenaga kerja asing (TKA), baik legal maupun ilegal, yang menempati berbagai sektor pekerjaan di Pulau Dewata. Ironisnya, keberadaan mereka tak hanya terbatas pada jabatan strategis seperti CEO atau General Manager, Tour Guide tetapi juga telah merambah ke pekerjaan non-profesional seperti pengemudi ojek online.
Fenomena ini membuat masyarakat merasa resah dan terancam, sebab peluang kerja bagi masyarakat Bali, khususnya generasi muda, kian menyempit. Apalagi ketika pekerjaan sederhana yang seharusnya bisa diisi oleh tenaga lokal justru diserobot oleh warga negara asing (WNA), yang dalam banyak kasus diduga bekerja secara ilegal.
Menanggapi aduan tersebut, Kepala Dinas Perindustrian dan Ketenagakerjaan Kabupaten Badung, I Putu Eka Merthawan, menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak tinggal diam. Dalam aksi damai yang digelar Aliansi Perjuangan Rakyat Bali di Pusat Pemerintahan (Puspem) Badung, Eka menyampaikan komitmennya untuk mengambil langkah konkret dalam mengawasi dan menertibkan keberadaan tenaga kerja asing di wilayahnya.
“Kami akan bersurat ke Imigrasi agar daya himpun tenaga kerja asing ini dibatasi. Kalau owner perusahaannya dari Amerika terus General Managernya juga WNA, tidak masalah. Tetapi jangan sampai tukang parkir juga dari Amerika. Saya lihat itu turis angkat galon, bahkan ada yang jadi driver ojek. Itu kan lucu,” tegas Eka Merthawan pada Rabu (30/4).
Lebih lanjut, Eka menyatakan bahwa pihaknya akan memperkuat koordinasi dengan pihak Imigrasi untuk menindak tegas TKA ilegal yang bekerja di sektor-sektor yang seharusnya diperuntukkan bagi tenaga kerja lokal. Ia juga menekankan pentingnya peninjauan regulasi agar ada pembatasan yang lebih jelas terhadap jumlah dan jenis pekerjaan yang boleh diisi oleh tenaga kerja asing.
“Yang jelas, kita harus batasi ini melalui aturan-aturan yang akan dirancang oleh pak bupati dan wakil bupati nanti. Bukan hanya omong-omong saja, apalagi sudah ada aksi hari ini,” tambahnya.
Maraknya TKA yang mendominasi berbagai lapangan pekerjaan di Bali juga dinilai sebagai bentuk ketimpangan dalam pengelolaan ketenagakerjaan. Di satu sisi, Bali dikenal sebagai destinasi internasional yang terbuka, tetapi di sisi lain, keterbukaan itu seolah-olah menjadi celah bagi WNA untuk menggeser peran tenaga lokal di tanahnya sendiri.
Banyak pihak menilai bahwa jika dibiarkan, fenomena ini dapat menimbulkan gejolak sosial yang lebih luas, termasuk meningkatnya pengangguran lokal dan melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam melindungi hak-hak pekerja domestik.
Sudah saatnya Bali tidak hanya menjadi tempat “bermain dan bekerja” bagi WNA, tetapi juga harus menjadi rumah yang adil bagi masyarakat lokalnya untuk berkembang dan berdaya saing. Keberagaman dan keterbukaan internasional memang penting, namun tidak boleh mengorbankan hak-hak dasar warga sendiri untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di tanah kelahirannya. (*)