GIANYAR, BALINEWS.ID – Semangat kebersamaan terasa begitu kental di Wantilan Pura Dalem, Desa Adat Guwang, Gianyar, Minggu (29/6/2025). Sebanyak 47 peserta dari berbagai penjuru Bali meramaikan Parade Ngelawar Se-Bali dengan mengangkat Resep Mustika Rasa yang dirangkai dalam rangka Bulan Bung Karno.
Parade kuliner yang diprakarsai oleh komunitas anak muda Teman Parta ini bukan sekadar ajang masak-memasak. Lebih dari itu, kegiatan ini menjadi momentum merawat warisan budaya dan mempererat rasa kebangsaan melalui sajian tradisional Bali yaitu Lawar.
Ketua Umum Teman Parta, Ngakan Made Putra, menyampaikan rasa bangganya atas antusiasme para peserta yang datang dari berbagai daerah, termasuk dari Buleleng hingga luar Bali.
“Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada teman-teman yang telah datang. Kehadiran kalian membuktikan bahwa Lawar bukan hanya kuliner, tetapi warisan budaya yang menyatukan,” ujarnya.
Ngakan mengajak peserta melihat Lawar tidak hanya sebagai kuliner tradisional, tetapi juga sebagai warisan penuh makna. Dalam sambutannya, ia membagikan kisah menarik dari buku Kupu-Kupu Kuning Terbang di Selat Lombok, yang mengangkat sejarah Lawar sejak masa kerajaan.
“Konon pada tahun 1692, saat Kerajaan Karangasem bersiap menyerbu Lombok, para patih membuat jamuan makanan terbuat dari buah kelapa. Hal uniknya, jamuan tersebut menggunakan rempah base genep dan darah segar,” tutur Ngakan.
Darah segar dalam Lawar, lanjutnya, tidak hanya menjadi unsur cita rasa, tetapi juga menyimbolkan keberanian, agar para prajurit tidak gentar melihat darah di medan perang.
“Itulah salah satu cerita tentang Lawar yang membuat kita semakin sadar, bahwa makanan pun bisa menjadi simbol perlawanan, doa, dan penyatuan rasa,” jelasnya penuh semangat.
Berbeda dari festival kuliner biasa, Parade Ngelawar ini tidak menetapkan juara. Tak ada pemenang ataupun lomba rasa. Semua peserta tampil untuk satu tujuan: menjaga agar Lawar tetap lestari.
“Yang dicari bukan siapa yang paling enak, tapi bagaimana kita bisa mengenalkan varian-varian Lawar dari berbagai daerah yang mungkin selama ini tak pernah dikenal,” tegas Ngakan.
Sejumlah varian unik pun mencuri perhatian, seperti Lawar Lunga, Lawar Nyawan, hingga Lawar berbahan dasar rotan khas Jembrana yang tergolong langka.
Dalam kesempatan tersebut, Chef Ron memberikan apresiasi tinggi dan menegaskan bahwa Lawar bukan sekadar soal rasa, tetapi juga mencerminkan karakter dan identitas bangsa. Menurutnya, Lawar bukan sekadar soal rasa atau tekstur, tapi mengandung makna sejarah dan budaya yang tidak bisa ditemukan ditempat lain.
“Lawar tidak bisa disamakan dengan makanan lain. Di balik nama Lawar, ada budaya, ada cerita, ada leluhur yang tidak bisa ditinggalkan,” ujarnya.

Chef Ron juga menambahkan bahwa meskipun beberapa makanan dari negara lain tampak serupa secara visual, Lawar tetap memiliki identitas unik yang tak tergantikan. Ia menilai bahwa tiap daerah di Indonesia memiliki perbedaan bahan pangan, sehingga wajar bila terdapat variasi dalam Lawar. Namun, nama Lawar harus tetap merujuk pada akarnya, yakni Bali.
“Indonesia sendiri kan punya faktor ketersediaan bahan pangan beda-beda setiap daerah di utara, selatan, timur, barat. Jadi lawar itu mungkin berbeda dari lawar di selatan ataupun utara karena memang sumber alamnya berbeda. tetapi satu nama itu tidak bisa dibedakan,” tambahnya.
Parade Ngelawar Se-Bali ini pun menjadi bukti bahwa menjaga budaya bisa dilakukan dengan cara yang menyenangkan, penuh rasa, cerita, dan semangat kebersamaan. (*)