GIANYAR, BALINEWS.ID – Krama Banjar Adat Sampiang, Kelurahan Gianyar, melaksanakan upacara Pujawali atau Piodalan di Pura Puseh dan Pura Desa Adat Gianyar yang digelar pada puncaknya, Sabtu (12/7/2025). Pujawali telah labda karya atau berlangsung lancar dan sukses. Upacara ini menjadi bagian dari pelestarian tradisi adat, agama, dan budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun sejak era Kerajaan Gianyar di bawah pemerintahan Ida Dewa Manggis Kuning.
Klian Adat dan Lingkungan Banjar Sampiang, I Nyoman Gede Subratha, yang juga bertindak sebagai penanggung jawab kegiatan, menyampaikan bahwa pelaksanaan Pujawali kali ini telah dipersiapkan secara matang bersama seluruh krama adat dan Panitia Piodalan, dengan dukungan Wakil Bendesa Adat Gianyar, I Wayan Suparma.
“Segala persiapan telah kami lakukan selama dua minggu terakhir melalui kegiatan ngayah bersama warga Banjar Sampiang. Mulai dari persiapan upakara, penataan pura, hingga pengaturan giliran ngayah, semua dilakukan secara gotong royong dengan semangat tulus ikhlas,” ungkap I Nyoman Gede Subratha.
Pura Puseh dan Pura Desa merupakan bagian dari Tri Kahyangan, yakni tiga pura utama yang menjadi poros spiritual setiap desa adat di Bali: Pura Puseh, Pura Desa Bale Agung, dan Pura Dalem. Keberadaan Pura Puseh Desa Adat Gianyar memiliki kaitan erat dengan berdirinya Kerajaan Gianyar oleh Ida Dewa Manggis Api atau dikenal pula dengan gelar Ida Dewa Manggis Sakti IV Corog pada hari Sukra Wage Wuku Krulut, 19 April 1771.
Desa Adat Gianyar, juga disebut Desa Jero Kuta atau Kuta Raja, menjadi pusat pemerintahan kerajaan kala itu. Dalam perjalanan sejarahnya, Pura Puseh dan Pura Desa ini telah mengalami beberapa kali pemugaran, termasuk renovasi besar yang dilaksanakan melalui Karya Padudusan Agung, Mamungkah, Mupuk Pedagingan, Peneduh Jagat, dan Penyejeg Jagat pada 3 Oktober 2015, bertepatan dengan Saniscara Kliwon Wuku Uye.
“Warisan leluhur ini kami jaga melalui tradisi-tradisi yang dilandasi oleh nilai-nilai Tri Hita Karana, yakni menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, serta manusia dengan alam,” ujar Wayan Suparma.
Dalam sistem adat yang berlaku, pelaksanaan ayahan atau giliran ngayah untuk Pujawali diatur secara bergilir di antara 12 banjar adat yang ada di wilayah Kelurahan Gianyar. Untuk tahun ini, giliran tersebut jatuh pada Banjar Adat Sampiang yang masuk dalam Regu I.
“Setiap regu terdiri dari dua banjar adat. Tugasnya sudah dibagi melalui kesepakatan Paruman Desa. Hal ini kami lakukan agar pelaksanaan ngayah bisa berjalan tertib dan merata,” jelas Subratha.
Pengaturan jadwal ngayah pun disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat. Dengan jumlah krama kurang lebih 306 Kepala Keluarga, pengaturan teknis pelaksanaan ngayah dilakukan secara fleksibel agar tidak mengganggu pekerjaan, baik di instansi pemerintahan maupun sektor swasta.
“Kami berupaya seimbang antara tanggung jawab adat dan tanggung jawab pekerjaan masing-masing krama,” tandasnya.
Sebagai penutup, Subratha menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada seluruh krama dan pihak yang telah mendukung kelancaran kegiatan ngayah dan Pujawali ini. Ia berharap semangat kebersamaan dan ketulusan dalam melestarikan budaya lokal terus terjaga di masa mendatang.
“Semoga Pujawali ini membawa berkah bagi masyarakat dan alam semesta, serta mempererat rasa persatuan dan spiritualitas di tengah masyarakat adat Gianyar,” pungkasnya.