GIANYAR, BALINEWS.ID – Suara kritis terhadap Majelis Desa Adat (MDA) kembali menggema. Kali ini datang dari Bendesa Adat Batuyang, Guru Made Sukarta, yang menegaskan bahwa peran MDA perlu dievaluasi total karena dinilai telah melenceng dari semangat awal sebagai forum komunikasi antar-bendesa.
Dalam pernyataannya, Guru Made menegaskan bahwa MDA bukanlah atasan desa adat.
“Atasan kami adalah krama desa yang memilih kami. Kami dijaya-jaya di pura oleh ida Bhatara, bukan di kantor MDA,” ujarnya dengan nada tegas.
Menurutnya, keberadaan MDA yang kini menjelma bak institusi struktural justru menimbulkan jarak dan tekanan terhadap desa adat. Ia mencontohkan, banyak instruksi dan bantuan yang disalurkan MDA justru sarat tekanan, bahkan ancaman administratif.
“Dari dulu kami di desa adat mengusulkan agar peran MDA itu dikaji ulang secara total. MDA bukan atasan kami. Atasan kami adalah kerama desa adat yang memilih kami secara sah, dan secara niskala, kami dijaya-jaya oleh ide Betara Kahyangan Tiga,” tegas Guru Made Sukarta.
Guru Made juga menyoroti pentingnya struktur MDA yang benar-benar representatif, baik di tingkat kecamatan, kabupaten, hingga MDA Agung sejatinya harus difungsikan sebagai forum komunikasi antar bendesa adat se-Bali, bukan sebagai lembaga yang seolah-olah memiliki otoritas struktural atas desa adat.
Terlebih, menurutnya saat ini MDA lebih banyak berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah, seperti dalam menyalurkan bantuan BKK atau meneruskan instruksi-instruksi formal. Hal itu dinilai tidak menjadi persoalan, selama dijalankan secara transparan dan bersifat fasilitatif bukan memerintah atau bahkan menekan desa adat.
“Kalau forum MDA hanya menjadi instrumen untuk memerintah, main tunjuk, mengeluarkan ancaman semacam tidak dikeluarkan surat keputusan BKK, itu bukan membina, tapi sudah masuk ke arah tekanan. Itu yang tiang tidak setuju,” ujarnya.
Ia menilai, besarnya anggaran yang digelontorkan untuk MDA belum berbanding lurus dengan manfaat yang dirasakan langsung oleh desa adat. Kritik juga diarahkan pada gaya kepemimpinan MDA yang dianggap tertutup terhadap kritik dan enggan berdialog.
“Kami beberapa kali menyampaikan masukan, malah disuruh datang menghadap. Seolah mereka pejabat tinggi, bukan mitra komunikasi,” keluhnya.
Guru Made juga menekankan bahwa dukungan terhadap visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali tetap solid. Namun menurutnya, upaya pelestarian adat Bali tak harus digerakkan melalui MDA yang tertutup dan jauh dari realitas desa.
Di akhir pernyataannya, Guru Made menyerukan reformasi total MDA agar kembali ke khitah sebagai forum perjuangan aspirasi desa adat, bukan alat kekuasaan birokratis. Pihaknya mengajak seluruh elemen adat untuk mendorong MDA menjadi wadah komunikasi sejati, bukan sekadar institusi birokratis. Ia berharap para pimpinan MDA di berbagai tingkatan mulai membuka diri, melakukan otokritik, dan kembali pada esensi yakni melayani dan memperjuangkan aspirasi desa adat. (*)