GIANYAR, BALINEWS.ID – Polemik internal kembali mencuat di tubuh Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali. Kali ini, Guru Made Sukarta, Jro Bendesa Adat Batuyang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, menanggapi undangan resmi bertajuk Simakrama Prajuru MDA Bali yang dijadwalkan digelar Minggu, 27 Juli 2025, di Puri Den Bencingah, Desa Akah, Klungkung, yang merupakan kediaman pribadi Ketua MDA Bali.
Menurut Jro Bendesa Sukarta, pemilihan lokasi acara tersebut merupakan langkah yang tidak tepat dan berpotensi memperlebar jarak antara lembaga MDA dan para prajuru adat di seluruh Bali.
“Saya hormati keberadaan para Bendesa Adat. Tapi mengundang semua jajaran MDA dari berbagai tingkatan ke rumah pribadi, dengan dalih apapun, adalah langkah yang tidak etis dan menyalahi spirit kepemimpinan adat Bali yang menjunjung kebersamaan dan kesakralan,” tegas Guru Made Sukarta.
Ia menilai, Bali memiliki banyak gedung representatif milik pemerintah atau MDA yang seharusnya bisa digunakan untuk menggelar pertemuan penting. Pemilihan tempat pribadi justru dianggap memunculkan kesan panik dan kurang elok dalam tata kelola kelembagaan.
“Kalau pemimpinnya panik dan bertindak di luar tatanan, maka bagaimana masyarakat adat bisa merasa terayomi? Ini blunder besar. Seharusnya rapat dilakukan di tempat resmi milik MDA atau pemerintah, bukan di tempat pribadi,” ujar Bendesa Batuyang yang dikenal vokal menjaga marwah adat.
Sukarta juga menyayangkan kehadiran Dinas Pemajuan Masyarakat Adat dalam agenda tersebut. Menurutnya, hal ini bisa mencederai netralitas pemerintah terhadap lembaga adat.
“Kepala dinas diundang dalam pertemuan yang tidak resmi secara kelembagaan? Ini menciptakan preseden buruk. Lembaga adat semestinya punya integritas dan wibawa, bukan dikaburkan dengan agenda personal,” tambahnya.
Sementara itu, pandangan serupa datang dari I Ketut Alit Suardana, tokoh adat yang pernah menjabat sebagai Bhaga Hukum dan Wicara Adat MDA Bali (2019–2021) serta Bendesa Madya MDA Karangasem (2021–2023). Ia mempertanyakan penggunaan istilah “simakrama” dalam undangan resmi MDA, yang menurutnya tidak sesuai dengan AD/ART lembaga.
“Dalam AD/ART Pasal 29 sudah jelas jenis pertemuan di tubuh MDA: Paruman Agung, Pesamuan Agung, dan Pesangkepan. Di Pasal 43 bahkan disebutkan empat bentuk Pesangkepan: Rutin, Pleno, Diperluas, dan Insidental. Tidak ada satupun istilah ‘simakrama’ di sana,” ungkap Alit Suardana.
Alit menilai, penggunaan istilah di luar ketentuan resmi dapat menimbulkan multitafsir serta mengurangi legitimasi kelembagaan MDA sebagai pilar penjaga nilai-nilai adat di Bali.
Ajakan Dialog Terbuka
Dalam tensi yang kian memanas, Guru Made Sukarta mengajak Ketua MDA Bali untuk membuka ruang diskusi bersama para bendesa.
“Kalau ada suara-suara sumbang dari masyarakat adat, mestinya dijawab dengan forum terbuka, duduk bersama para Bendesa. Bukan malah membangun tembok dengan pertemuan eksklusif di ruang tertutup,” ujarnya.
Ia menegaskan, MDA harus kembali ke khitahnya sebagai penjaga nilai kearifan lokal, menjunjung tinggi transparansi, musyawarah, dan kolektivitas sebagaimana diajarkan para leluhur Bali.
“Majelis Desa Adat tidak boleh kehilangan rohnya sebagai penjaga nilai-nilai kearifan lokal,” tutupnya. (*)