GIANYAR, BALINEWS.ID – Mobilitas anjing antarwilayah administratif di Bali dinilai berpotensi memperluas penyebaran rabies. Risiko ini meningkat seiring masih adanya pergerakan anjing antar kabupaten/kota yang tidak disertai vaksinasi dan sterilisasi, serta belum adanya kontrol yang ketat terhadap lalu lintas hewan peliharaan.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Puskeswan Gianyar III, drh. I Nyoman Arya Dharma, dalam kajiannya terkait pola penyebaran rabies di Pulau Dewata. Ia menekankan, Bali merupakan wilayah endemis rabies, dengan anjing sebagai pembawa utama virus. Pergerakan anjing tanpa pengawasan, terutama yang belum divaksinasi, dapat membuka celah penularan ke wilayah-wilayah dengan cakupan vaksinasi rendah.
“Masalahnya bukan hanya pada status vaksinasi, tapi juga waktu pelaksanaan vaksinasi yang tidak seragam antarwilayah. Jika satu kabupaten sudah melakukan vaksinasi dan lainnya belum, maka akan terbentuk ‘gap kekebalan’ yang rentan dimanfaatkan oleh virus,” ungkap Arya Dharma, Sabtu (26/7/2025).
Selain itu, anjing yang belum disteril atau dikastrasi lebih berpotensi berpindah tempat saat musim kawin. Perilaku ini meningkatkan risiko kontak fisik, perkelahian, dan penyebaran rabies.
Ia juga mencatat bahwa tidak semua daerah memiliki regulasi ketat terkait pergerakan hewan. Dokumen vaksinasi belum menjadi syarat wajib untuk pergerakan antarwilayah, sehingga pengawasan menjadi lemah.
Dalam kajian risiko yang disusun, setidaknya empat potensi utama dinilai memiliki level risiko tinggi hingga sedang-tinggi, yaitu:
Anjing tak tervaksin berpindah antarwilayah,
Ketidakterpaduan jadwal vaksinasi antar kabupaten,
Populasi anjing liar yang berkembang tak terkendali,
Minimnya edukasi masyarakat soal rabies dan sterilisasi.
Rekomendasi Mitigasi
Untuk mengatasi risiko tersebut, drh. Arya Dharma merekomendasikan tujuh langkah strategis yang perlu dilakukan secara lintas kabupaten/kota, yakni:
Menyelaraskan jadwal vaksinasi rabies secara serempak di seluruh Bali.
Mewajibkan dokumen vaksinasi rabies sebagai syarat mutlak perpindahan anjing antarwilayah.
Menerapkan karantina minimal 14 hari bagi anjing yang dipindahkan.
Menggabungkan program vaksinasi dengan sterilisasi atau kastrasi secara masif.
Memberikan edukasi intensif kepada masyarakat tentang pentingnya vaksin dan pengendalian populasi.
Melakukan penandaan terhadap anjing tervaksinasi, misalnya dengan kalung warna tertentu atau chip.
Membangun sistem pemantauan dan pertukaran data digital lintas kabupaten.
“Kunci pengendalian rabies adalah kolaborasi. Tidak cukup satu kabupaten bergerak sendiri. Harus ada pendekatan terpadu antara vaksinasi, sterilisasi, dan pengawasan lalu lintas hewan,” tegasnya.
Rabies masih menjadi ancaman serius di Bali. Meski upaya vaksinasi rutin dilakukan, tanpa koordinasi dan regulasi yang menyeluruh, potensi penyebaran virus tetap tinggi. Pemerintah daerah diharapkan segera mengimplementasikan langkah-langkah mitigasi berbasis data dan kebijakan lintas sektor agar wabah ini bisa dikendalikan secara berkelanjutan.