DENPASAR, BALINEWS.ID – Polemik seputar kewenangan Majelis Desa Adat (MDA) Bali sedang hangat diperbincangkan. Kali ini, kritik datang dari I Gusti Putu Artha, tokoh masyarakat sekaligus mantan regulator dan ahli bidang hukum pemilu. Melalui akun pribadinya, Ia dengan tegas menyatakan bahwa Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) MDA bertentangan dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali.
Sebagai seorang politikus yang juga pernah menjabat di divisi hukum KPU, Putu Artha mengaku dirinya terpanggil untuk bersuara setelah mencermati dinamika MDA dalam beberapa pekan terakhir. Ia menilai telah terjadi pembajakan terhadap hak otonomi Desa Adat yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan.
“Sebagai warga yang cinta Bali dan adat istiadatnya, saya tak bisa diam mencermati dinamika eksistensi Majelis Desa Adat (MDA) yang mencuat dua pekan terakhir. Namun saya menahan diri untuk cukup waktu memahami fakta regulasi yang berkaitan dengan pembentukan dan kewenangan MDA,” ujar Putu Artha, Kamis (17/7).
Ia menjelaskan, dalam Perda 4/2019, khususnya Pasal 1 dan Pasal 72, MDA disebut sebagai pasikian atau forum persatuan Desa Adat se-Bali yang dibentuk oleh dan untuk Desa Adat.
“MDA dibentuk di provinsi, kabupaten dan kecamatan dengan susunan organisasi, masa jabatan dan tata kerja diatur dalam AD/ART MDA,” jelas Putu Artha.
Dengan demikian, tambahnya, MDA adalah “persatuan” Desa Adat tentunya beranggotakan Desa Adat secara kelembagaan, bukan orang per orang yang tak terikat dengan Desa Adat.
“Karena itu pula, MDA dalam pengertian ini dipahami sebagai forum komunikasi Desa Adat. Jika toh perseorangan yang merepresentasikan keanggota MDA maka ia harusnya para bendesa Adat,” tambah mantan anggota KPU Provinsi Bali ini.
Puncak persoalan, kata dia, terdapat pada Pasal 49 AD/ART MDA yang mengatur tata hubungan antara MDA dengan Desa Adat di Bali:
(1) MDA sebagai Pasikian Desa Adat di Bali telah dideklarasikan dalam Paruman Agung Desa Adat se-Bali pada tanggal 6 Agustus 2019 sebagaimana tercantum dalam Murdacitta.
(2) Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah menyerahkan sebagian kewenangan Desa Adat kepada MDA.
(3) MDA melaksanakan kewenangan yang diserahkan oleh Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pelaksanaan atas penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut oleh MDA Provinsi Bali.
Sedangkan Pasal 50 ayat (1) menyatakan:
Desa Adat di Bali berkewajiban menghormati dan menaati setiap Ketetapan dan Keputusan Majelis Desa Adat.
Menurut Putu Artha, ketentuan ini menjadi awal mula terjadinya “pembajakan” terhadap hak otonomi Desa Adat.
“Ada deklarasi yang konon dihadiri cuma ratusan wakil desa adat telah bersepakat menyerahkan sebagian kewenangan Desa Adat untuk dilaksanakan oleh MDA. Ini yang saya sebut “pembajakan” atas hak otonomi Desa Adat,” tutur Gusti Putu Artha.
Awal mula muncul persoalan
Desak perombakan AD/ART dan pemulihan fungsi MDA
Sebagai solusi, Putu Artha mendorong agar segera digelar Paruman Agung Luar Biasa untuk merevisi AD/ART MDA dan mengembalikan posisi MDA sebagai pasikian atau forum koordinatif antar-Desa Adat, bukan lembaga struktural dengan kekuasaan eksekutif.
“Saya terbuka dengan kritik, bahkan yang paling tajam sekalipun, asalkan berbasis data hukum dan bukan serangan pribadi. Perdebatan seperti ini penting untuk menjaga keluhuran Desa Adat Bali,” pungkasnya.
Pernyataan Putu Artha ini menambah daftar panjang kritik terhadap eksistensi dan kewenangan MDA yang dinilai makin jauh dari semangat kelahiran Desa Adat sebagai pilar utama kehidupan sosial dan budaya di Bali. (*)