BALINEWS.ID – Sebagai warga negara Indonesia, saya Kande Putra, ragu bahwa negeri ini sedang baik-baik saja. Bagaimana bisa kita mengaku baik-baik saja, bila di setiap senyap malam, ribuan dapur tiba-tiba kehilangan asapnya? Di setiap pagi, ada ayah, ibu, anak memandang kosong slip gaji yang berubah jadi surat PHK.
Gelombang pemutusan hubungan kerja kembali berkejaran dengan angka-angka pertumbuhan yang katanya membaik. Per Mei 2025, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat lebih dari 26.455 orang di tanah air kehilangan pekerjaan. Angka, ya hanya angka bagi sebagian orang. Tapi di balik angka itu, ada kursi makan kosong, sekolah anak yang tertunda, mimpi-mimpi yang harus digadai entah sampai kapan.
Di jantung pariwisata Bali, cerita ini lebih getir lagi. Kabupaten Badung, Kepupadan tempat resor-resor mewah berbaris di pinggir pantai berpasir putih ternyata juga mencatat ratusan pekerja dirumahkan. Hotel, resort, restoran tempat orang datang berlibur hari ini menjadi lorong gelap bagi mereka yang dulu menggantungkan harap.
Bahkan Coca-Cola, nama besar yang dulu kita kira kebal, kini memangkas barisan pekerjanya.
Apa artinya? Artinya, ancaman kehilangan pekerjaan tak lagi hanya membayangi warung kecil di sudut gang, tapi juga raksasa yang dulu kita kira kokoh.
Pengamat ketenagakerjaan dari UGM, Cah Yudin Nur Efendi, menyarankan jalan keluar yang membuat dada sesak: “kerja ke luar negeri.” Kata beliau, mungkin memang lapangan kerja di negeri ini terlalu sempit. Maka muncullah kalimat: kabur aja dulu. Ironis seolah migrasi tenaga kerja adalah obat mujarab untuk penyakit yang tak pernah benar-benar diobati dari akarnya.
Lalu bagaimana dengan Bali?
Pulau yang katanya surganya budaya nyatanya justru kehilangan penerusnya. Anak-anak muda Bali, yang seharusnya menyalakan dupa di pura, menabuh gamelan di banjar, satu per satu pergi. Kapal pesiar, Australia, Jepang, Finlandia itu panggung baru mereka.
Siapa yang akan memukul kendang? Siapa yang akan menari baris?
Siapa yang akan megambel di Banjar saat upacara Galungan tiba?
Apakah kelak kita bangga melihat Pesta Kesenian Bali dibuka oleh orang luar, menabuh genderang yang tak lagi punya anak tuan rumah?
Dan jika bicara tentang yang ditinggal apa kabar alam kita?
Hutan-hutan yang ditebang, tambang-tambang yang dibuka, tanah yang dibelah, air yang tercemar.
Raja Ampat kemarin jadi saksi.
Atas nama “hilirisasi”, sungai kering, udara berdebu, ikan menjauh. Tapi pundi-pundi? Mengalirnya ke mana? Bukan ke kampung sekitar tambang tapi ke rekening para tuan modal yang makin tambun.
Ketimpangan melebar, jurang semakin curam.
Rakyat kecil? Tetap menatap tanah kering, menimba air keruh.
Ini bukan dongeng pesimis. Ini realitas.
Kemiskinan yang bukan sekadar warisan ayah yang tak punya apa-apa tapi sistem yang membiarkan ketidakadilan tumbuh subur.
Kita lihat sendiri: tukang bangunan membanting tulang dari pagi sampai malam, tapi sekadar makan pun harus menunggu proyek berikutnya.
Jalan di kabupaten-kabupaten Bali? Berlubang, menganga, memaksa pengendara jadi “off-roader” di jalan kampung sendiri.
Keluh masyarakat bertahun-tahun hanya dijawab: anggaran belum ada, masih proses.
Proses entah sampai kapan.
Maka ke mana kita mau berjalan? Generasi muda kabur ke luar negeri. Yang tinggal terjebak di sektor informal. Hutan habis, tambang terus gali. Keuntungan mengalir ke siapa?
Sementara di desa, orang tua menunggu remittance, transfer dolar, sebagai penopang hidup yang seharusnya bisa didapat tanpa merantau.
Bantuan sosial?
Baik, tapi ia hanya menahan lapar sehari dua hari.
Yang kita butuh adalah reformasi struktural industri padat karya, pendidikan dan pelatihan vokasi yang benar-benar menjawab zaman, akses usaha mikro yang nyata, dan kekayaan alam yang dikelola adil untuk rakyat, bukan untuk segelintir elit.
Ingat, kemiskinan bukan takdir.
Ia lahir dari sistem yang gagal membagi keadilan.
Pertanyaannya: kita mau diam? Atau kita mau menuntut jawaban?
Kande Putra | Topi Merah | Balinews.id