BADUNG, BALINEWS.ID – Anggota Komisi I DPRD Provinsi Bali dari Fraksi PDI Perjuangan, I Wayan Bawa, S.H., menyoroti peran Majelis Desa Adat (MDA) Bali yang dinilai mulai keluar dari fungsi utamanya. Menurutnya, MDA bukanlah lembaga struktural di atas desa adat, melainkan hanya forum koordinasi antardesa adat di Bali.
“MDA itu hanya forum koordinasi, seperti forum perbekel di desa dinas. Desa adat tidak berada di bawah forum. Atasan desa adat itu ya Ida Bhatara Kahyangan Tiga dan krama desa, bukan MDA,” tegas Wayan Bawa, Senin (14/7/2025).
Pernyataan ini dilontarkannya menyikapi maraknya persepsi bahwa MDA memiliki kewenangan mengatur bahkan mengangkat dan memberhentikan bandesa adat. Menurutnya, hal itu keliru dan bertentangan dengan nilai-nilai kedaulatan desa adat yang bersumber dari krama.
Sebagai Bandesa Adat Seseh, Bawa mengaku tidak pernah dilantik oleh MDA, namun tetap menerima SK pengangkatan dari lembaga tersebut. Bahkan, karena tidak mengikuti pola yang diharapkan MDA, dana BKK sebesar Rp100 juta untuk desanya tidak dicairkan.
Lebih jauh, ia juga mempertanyakan munculnya gelar seperti “Bandesa Agung” di tubuh MDA.
“Logikanya kalau forum, ya dipimpin oleh ketua forum yang jelas diambil dari bandesa-bandesa aktif. Tapi sekarang muncul ‘ratu-ratu’ entah dari mana. Siapa yang pilih? Mungkin hanya kelompok kecil. Kami di bawah ini tidak pernah tahu prosesnya,” ujarnya.
Untuk menghindari polemik berkelanjutan, Wayan Bawa berencana mengusulkan pembahasan khusus di Komisi I DPRD Bali dengan memanggil pihak MDA dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD). Tujuannya, memastikan tidak ada benturan aturan antara Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat dengan UU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali.
“Peraturan di bawah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang di atasnya. Harus selaras. Kalau tidak, bisa menimbulkan konflik kewenangan,” tegasnya.
Dengan komitmen penuh sebagai wakil rakyat dan tokoh adat, I Wayan Bawa menutup pernyataannya dengan satu kalimat yang menjadi pegangan hidupnya, yakni “Ngayah tidak perlu SK, tidak perlu BKK. Karena pengabdian untuk krama tidak bisa dibeli dan tidak boleh dibatasi.” (*)