KLUNGKUNG, BALINEWS.ID – Warga Banjar Sental Kangin, Desa Ped, Nusa Penida, Klungkung, mengalami ketegangan pada hari Ngembak Geni, yang jatuh pada Minggu, 30 Maret 2025, tepat sehari setelah Hari Raya Nyepi. Ketegangan tersebut dipicu oleh keributan yang melibatkan salah satu dari tujuh warga yang dikenakan sanksi kesepekang dan kanorayang.
Sanksi kesepekang dan kanorayang merupakan sanksi adat Bali bagi warga yang melanggar hukum adat atau keputusan bersama. Sanksi ini mengakibatkan seseorang dikeluarkan dari komunitas adat dan dilarang menggunakan fasilitas adat.
Kelian Banjar Adat Sental Kangin, Nyoman Supaya, menjelaskan bahwa keributan bermula ketika KP, salah satu warga yang dikenakan sanksi, melintas dengan sepeda motor di depan posko siskamling sambil mengangkat kaki di setang dan memutar gas motor dengan keras di depan warga yang sedang berkumpul. Aksi tersebut dianggap tidak sopan oleh warga, sehingga mereka langsung menegurnya.
Tak lama setelah itu, KP kembali bersama anaknya, KS, seorang tentara. KS tidak terima dengan perlakuan warga yang menegur ayahnya, dan ia pun menantang warga.
Warga yang ada di posko langsung marah dan turun. Saya sebagai aparat mencoba menenangkan dan memberi peringatan agar tidak memprovokasi warga. Saya minta mereka pulang, tapi KS malah semakin emosional,” ungkap Nyoman Supaya melalui telepon pada Selasa (1/4/2025).
Beberapa saat kemudian, tiga orang lainnya datang dan bergabung dengan KS, yang membuat situasi semakin panas. Warga pun mulai membunyikan kulkul bulus, alat tradisional Bali untuk memberi tanda bahaya.
“Situasi semakin tegang. Untung saya ada di sana untuk meredamnya. Kalau tidak, bisa lebih buruk. Saya cegah warga yang ingin mendatangi rumah mereka,” ujar Nyoman Supaya.
Beruntung, pihak Kepolisian Sektor (Polsek) Nusa Penida dan Koramil setempat segera datang untuk mengamankan para pihak yang terlibat.
“Melihat kondisi yang sudah sangat emosional, saya tidak bisa menjamin keselamatan mereka. Saya segera menghubungi Kapolsek dan meminta mereka diamankan sebelum malam tiba. Polsek mengamankan mereka, sementara anggota tentara diamankan oleh petugas Koramil,” tambah Nyoman Supaya.
Nyoman Supaya juga menjelaskan bahwa keputusan untuk memberikan sanksi kesepekang dan kanorayang terhadap tujuh kepala keluarga di Banjar Adat Sental Kangin, Desa Adat Ped, Nusa Penida, terpaksa diambil karena mereka tidak mematuhi keputusan banjar. Sebelum sanksi tersebut dijatuhkan, mereka sudah diberi kesempatan untuk memperbaiki diri.
Konflik ini bermula dari upaya penataan lahan negara seluas sekitar 7 are di kawasan bekas gubuk petani rumput laut di pinggir pantai Banjar Sental Kangin, yang sebelumnya terbengkalai. Inisiatif untuk menata kawasan ini datang dari tokoh masyarakat setempat, Ketut Leo, yang mengajak warga untuk merapikan kawasan tersebut agar bisa menarik wisatawan. Penataan lahan ini dilanjutkan dengan pembangunan senderan penahan abrasi pantai oleh Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali Penida.
Namun, muncul ketegangan terkait pembagian pengelolaan lahan tersebut. Berdasarkan hasil paruman banjar, lahan tersebut dibagi untuk 101 kepala keluarga. Karena luas lahan yang terbatas, pembagian dilakukan dalam lima kelompok. Namun, salah satu kelompok diduga menguasai lahan strategis sepanjang 71 meter, sedangkan kelompok lainnya hanya mendapatkan sisa lahan sekitar 100 meter.
“Kami ingin pembagian lahan yang adil, tetapi mereka (yang dikenakan sanksi) justru menguasai bagian terbesar dan enggan berbagi,” jelas Nyoman Supaya.
Ketegangan semakin meningkat ketika warga menuntut pembagian lahan yang lebih adil, namun ditolak oleh kelompok tersebut dengan alasan bahwa lahan tersebut adalah milik negara. Penolakan ini memicu kemarahan warga adat.
“Karena mereka menentang keputusan banjar, mereka dikenai sanksi kesepekang. Namun, mereka terus melawan, sehingga akhirnya dijatuhkan sanksi kanorayang yang lebih berat,” ujar Nyoman Supaya.
Ia menegaskan bahwa siapapun yang melawan aturan adat dan mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama akan menghadapi konsekuensi yang serius.
“Kami berharap kejadian ini menjadi pelajaran bagi semua. Awig-awig bukan hanya sekadar aturan, tetapi juga identitas dan kehormatan bagi desa adat kami,” tutup Nyoman Supaya. (bip)