BANGLI, BALINEWS.ID – Di balik ketenangan dan keasrian Desa Adat Penglipuran, tersimpan sebuah kearifan lokal yang unik dalam menjaga ketertiban sosial dan keharmonisan rumah tangga. Yakni larangan terhadap praktik poligami. Pelanggar aturan adat ini akan dikenakan sanksi sosial yang dikenal dengan istilah kesepekan, yakni pengucilan secara adat dan sosial. Mereka yang terbukti melakukan poligami akan diasingkan ke sebuah kawasan khusus bernama Karang Memadu.
Karang Memadu sendiri terletak di bagian selatan Desa Penglipuran. Kawasan ini merupakan lahan adat yang sejak dulu disediakan secara khusus untuk menampung warga yang melanggar aturan larangan poligami. Nama Karang Memadu merujuk langsung pada istilah “memadu”, yang berarti memiliki lebih dari satu istri.
Saat ini, Karang Memadu telah ditata menjadi sebuah taman asri dengan bunga dan tanaman hias yang tertata rapi. Di pintu masuk kawasan, berdiri plang kayu bertuliskan “Pondok Coffee”, menunjukkan keberadaan warung kopi kecil yang dibuka untuk para wisatawan. Selain itu, di area ini juga terdapat tempat pengolahan pupuk organik.
Meski tampilannya kini lebih tertata dan menarik, fungsi utama Karang Memadu sebagai area isolasi sosial tetap dipertahankan.
“Tempat ini awalnya adalah tanah gersang yang tak dihuni. Kini kami tata agar tetap fungsional dan bernilai edukatif, namun tetap digunakan sesuai tujuannya sebagai tempat untuk pelanggar adat, khususnya poligami,” jelas Kelian Adat Desa Penglipuran, Wayan Budiarta, saat ditemui belum lama ini.
Ia menegaskan, siapapun yang menjalani sanksi kesepekan akan tinggal di Karang Memadu hingga berani mengakhiri praktik poligaminya. Sanksi ini tidak hanya berbentuk fisik berupa pengasingan, tetapi juga berupa pengucilan sosial oleh seluruh warga desa.
Larangan poligami di Desa Adat Penglipuran telah diberlakukan secara turun temurun sejak desa ini berdiri. Nilai-nilai tersebut diajarkan melalui berbagai jalur, seperti pasraman (lembaga pendidikan agama Hindu), paruman adat (forum pengambilan keputusan tertinggi di desa adat), hingga pembelajaran langsung dalam lingkungan keluarga.
“Nilai ini bukan sekadar aturan, tapi bagian dari identitas adat kami yang dijaga dari generasi ke generasi,” tambah Budiarta.