BALINEWS.ID – Banyak yang berfikir bahwa jika kebutuhan hidup manusia dipenuhi, tak perlu bekerja, tak perlu bersaing, dan semua kenyamanan disediakan bak kehidupan di surga. Namun, hal itu justru berbanding terbalik dengan hasil yang diperoleh dari eksperimen bernama Universe 25. John B. Calhoun, ahli etologi asal Amerika Serikat mencoba mewujudkan “surga” semacam itu bukan pada manusia, melainkan pada tikus. Namun hasilnya ternyata kehancuran.
Eksperimen ini berujung pada keruntuhan sosial, penyimpangan perilaku, dan kematian massal. Apakah eksperimen ini hanya tentang tikus? atau apakah juga bisa terjadi pada manusia?
John B. Calhoun memulai eksperimen Universe 25 pada 1968 di National Institute of Mental Health (NIMH), Maryland. Ia membangun sebuah “kota” buatan untuk tikus, lengkap dengan pasokan makanan melimpah, air bersih, suhu ideal, dan tempat tinggal nyaman. Tidak ada predator. Tidak ada kelaparan. Tidak ada kompetisi.
Delapan ekor tikus dilepaskan ke dalam kandang besar itu. Seiring waktu, populasi berkembang pesat hingga mencapai 2.200 ekor. Tikus-tikus itu hidup seakan berada di utopia. Mereka makan, kawin, dan beristirahat tanpa tekanan. Tapi surga ini tak bertahan lama.
Saat ruang tak lagi menjadi masalah dan kebutuhan hidup terpenuhi, kerusakan sosial justru mulai tumbuh. Pada hari ke-315, muncul gejala yang mencemaskan yakni agresi tanpa alasan, kekerasan antar koloni, dan kekacauan perilaku seksual. Tikus jantan menyerang betina dan anak-anak. Beberapa menunjukkan gejala homoseksual dan hiperseksualitas. Sementara para betina memilih mengisolasi diri, menolak kawin, bahkan menelantarkan anak-anaknya hingga mati.
Calhoun menyebut kelompok tikus yang pasif dan “menawan” ini sebagai the beautiful ones yakni tikus-tikus yang hanya makan, tidur, dan merawat diri, tapi tak lagi punya fungsi sosial. Mereka hidup, namun kehilangan makna kehidupan.
Pada hari ke-560, populasi berhenti tumbuh. Bukan karena kekurangan sumber daya, melainkan karena hilangnya semangat untuk hidup dan berkembang biak. Tikus-tikus yang lahir kemudian memiliki ketahanan mental rendah, tidak tahu cara bersosialisasi, dan tak mampu bertahan.
Empat tahun setelah eksperimen dimulai, semua tikus di dalam Universe 25 mati. Tanpa ada satu pun faktor eksternal yang mengancam, kematian datang dari dalam sistem itu sendiri. Eksperimen ini bukan hanya dilakukan sekali, melainkan 25 kali dengan hasil serupa.
Calhoun menyebut kondisi ini sebagai behavioral sink, yaitu tenggelamnya perilaku sosial sehat akibat kepadatan populasi dan hilangnya tantangan hidup. Eksperimen ini menuai kecaman dari banyak pihak. Sebagian menyebut Calhoun telah “bermain Tuhan” dengan mempermainkan kehidupan ratusan makhluk hidup. Namun di sisi lain, hasil eksperimen ini menjadi bahan refleksi mendalam bagi para sosiolog, psikolog, dan futuris.
Menurutnya, tikus adalah hewan yang sederhana tetapi memiliki perilaku yang kompleks. Perilaku ini meliputi menjalin hubungan, merawat anak, mempertahankan teritorial, dan berinteraksi dengan sesama atau antar kelompok.
“Ketika perilaku yang terkait dengan fungsi ini gagal mencapai dewasa, tidak ada perkembangan sosial dan tidak ada reproduksi. Seperti dalam kasus penelitian saya, semua anggota populasi akan menua dan akhirnya mati. Spesies akan punah,” tulis Calhoun. (*)