DENPASAR, BALINEWS.ID – Polemik seputar peran Majelis Desa Adat (MDA) kembali memicu diskusi hangat di Bali. Menanggapi hal ini, Jro Bendesa Adat Guwang, Cokorda Rai, S.H., menekankan pentingnya mengembalikan marwah MDA sebagai forum musyawarah, bukan lembaga yang mengatur desa adat.
“Dalam konteks MDA, kami sudah sering membahas bahwa desa adat seharusnya tidak boleh diintervensi oleh siapapun selain Awig-Awig dan Pararem desa sesuai dengan desa kala patra,” tegasnya dalam wawancara dengan Newsyess, Rabu (17/7).
Cokorda Rai menekankan bahwa MDA seharusnya berfungsi sebagai tempat berdialog untuk memperkuat adat Bali yang adi luhur.
“MDA harus menjadi ruang diskusi tentang adat, pelaksanaan upacara seperti odalan dan ngaben, serta aspek teknis lainnya seperti serati dan pemangku,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa penyaluran dana pemerintah ke desa adat sudah diatur dengan jelas melalui Bantuan Keuangan Khusus (BKK) yang memiliki petunjuk pelaksanaan resmi dari pemerintah daerah.
“Terkait dana dari pemerintah ke desa adat, yang disebut BKK, sudah ada juklak juknisnya sejak lama, bahkan sebelum MDA ada. Jadi fungsi MDA di sini bukan mengatur atau mengendalikan desa adat, melainkan mendampingi agar tata kelola sesuai adat tetap kuat,”
Cokorda Rai juga menyoroti perlunya evaluasi menyeluruh terhadap petugas MDA untuk mencegah penyimpangan kewenangan yang dapat merusak marwah desa adat.
“Jika ada penyimpangan, evaluasi total terhadap petugas MDA sangat penting. MDA harus tetap menjadi tempat untuk memperkuat adat bersama-sama,” pungkasnya.
Cokorda Rai berharap semua pihak, termasuk pemerintah daerah dan jajaran MDA, dapat bekerja sama untuk mengembalikan fungsi MDA sesuai semangat Perda Desa Adat, demi menjaga kehormatan dan kekuatan desa adat Bali. (*)