INTERMESSO, Balinews.id – Bayangkan sedang menunggu gaji bulanan untuk kebutuhan hidup, tapi tiba-tiba rekening diblokir. Tidak ada pemberitahuan lebih dulu. Tidak ada peringatan. Ketika mencoba mengurus, malah dipingpong antara bank dan lembaga yang memblokir. Sementara itu, situs-situs judi online yang terang-terangan ilegal masih aktif, bahkan ternyata dilindungi oleh oknum pegawai instansi negara.
Sepanjang 2024, PPATK mencatat lebih dari 28 ribu rekening yang disebut terlibat dalam praktik jual beli rekening untuk aktivitas judi online. Banyak di antaranya adalah rekening dormant alias rekening yang sudah lama tak aktif lalu dijual ke pihak tak bertanggung jawab. Tapi kenyataannya, tidak sedikit pula masyarakat biasa yang ikut jadi korban pemblokiran.
Saat rekening diblokir, masyarakat memang diberi opsi untuk mengurus reaktivasi ke bank atau langsung ke PPATK. Tapi prosesnya rumit. Ada yang diminta membuat surat kronologis, ada yang harus menunggu berhari-hari, bahkan berminggu. Di sisi lain, kebutuhan hidup tak bisa menunggu.
Netizen pun bertanya-bertanya kalau bisa membekukan rekening secepat itu, kenapa bukan situs judol tidak bisa diberantas dengan cepat juga.
Ironisnya, sebelum masyarakat ramai mengeluhkan pemblokiran rekening, tahun lalu sempat diberitakan bahwa oknum pegawai Komdigi (Kementerian Komunikasi dan Digital) menerima bayaran untuk menjaga situs-situs judi online agar tidak diblokir.
Dalam penggerebekan yang dilakukan Polda Metro Jaya akhir 2024 lalu, seorang pegawai mengaku melindungi sekitar 1.000 situs judol, dengan bayaran Rp8,5 juta per situs. Artinya, oknum ini berpotensi meraup miliaran rupiah hanya dari menjaga agar situs-situs ilegal tetap bisa diakses publik.
Masyarakat bukan tidak paham bahwa memberantas judi online itu kompleks. Tapi tidak juga bisa terus diminta bersabar, ketika yang mereka lihat justru ketimpangan perlakuan. Di satu sisi, rekening pribadi bisa diblokir tanpa konfirmasi. Di sisi lain, situs-situs ilegal yang jelas-jelas merugikan justru bisa bertahan dan bahkan sempat dilindungi oleh oknum dalam sistem.
Tapi yang sulit diterima adalah ketimpangan perlakuan. Di satu sisi, pemilik rekening pribadi bisa langsung diblokir hanya karena dinilai ada aktivitas mencurigakan. Di sisi lain, situs yang terang-terangan merugikan masyarakat justru bisa lolos dari hukum.
Pemblokiran besar-besaran terhadap rekening dormant oleh PPATK memang menunjukkan keseriusan dalam memutus aliran uang ilegal. Tapi kurangnya komunikasi, minimnya transparansi, dan ketidaktepatan sasaran jadi masalah yang tak kalah serius.
Pada akhirnya, publik bertanya-tanya
Apakah sistem ini benar-benar dirancang untuk melindungi masyarakat, atau hanya berjalan otomatis tanpa kendali arah? (*)